Selasa, 10 Februari 2009

Tafsir ibnu katsir dan pokok pemikirannya Oleh : Orie ibnu Faroza

 Pendahuluan
Segala puji bagi Allah, penguasa semesta alam, yang menciptakan manusia dengan bentuk yang sempurna yang diutus sebagi kholifah. Maka tiada tuhan selain Allah yang patut disembah. Selawat serta salam tercurahkan kepada makhluk yang paling mulia. Muhammad sallahualaihi wassalam. Segala puji bagi Allah yang telah melebihkan dan mengangkat para ulama dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rosulnya, serta dengan ilmu mengantarkan islam dan kam muslimin kepada kejayaan dan ketinggian derajatnya.
Al-Qur'an datang dengan membuka lebar-lebar mata manusia, agar mereka menyadari jati diri dan hakekat keberadaan mereka dipentas dunia ini. Juga, agar mereka tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga mereka tidak menduga bahwa hidup mereka hanya dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan kematian. Al-Qur'an mengajak mereka berfikir tentang kekuasaan Allah. Dan, dengan berbagai argumentasi, kitab suci ini juga mengajarkan mereka untuk membuktikan keharusan adanya hari kebangkitan, dan bahwa kebahagiaan mereka pada hari itu akan disesuaikan oleh persesuaian sikap hidup mereka dengan apa yang dikehendaki oleh sang pencipta, Tuhan Yang Maha Esa.
Latar belakang masalah
Al-Qur'an yang diyakini sebagai firman Allah, merupakan petunjuk mengenai apa yang dikehendakiNya. Jadi manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang dikehendakinya itu, demi meraih kebahagiaan akhirat, harus dapat memahami maksud petunjuk-petunjuk tersebut. Upaya memahami maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia itulah yang disebut tafsir. Karenanya sangat jelaslah urgensi tafsir. Kebutuhan akan tafsir akan menjadi lebih penting lagi jika disadari bahwa manfaat petunjuk-petunjuk tidak hanya terbatas dengan kehidupan kelak. Petunjuk-petunjuk itupun menjamin kebahagiaan hidup manusia di dunia ini.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dalam memahami alqur'an kita tidak hanya mengetahui melalui terjemahannya saja, tetapi diperlukan tafsirannya. Untuk mengetahui tafsirannya diperlukan pula referensi dari ulama salaf yang memang ahli dibidang tafsir. Ibnu Katsir, ulama terkemuka dalam bidang tafsir Al Qur’an telah mempersembahkan karya besarnya kepada dunia Islam, yaitu Tafsir Ibnu Katsir. Kecermatan dan kepiawaiannya dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, menjadikan kitab tafsirnya itu sebagai kitab rujukan dan kajian di hampir semua majelis kajian tafsir di seluruh dunia Islam.

Rumusan masalah
1. Bagaimanakah Ibnu Katsir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam tafsirnya
2. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir Ibnu Katsir
3. Pokokpemikiran ibnu katsir dan analisis penafsirannya.

!. Biografi imam ibnu katsir
Ibnu Katsir Di antara ulama Islam terkemuka yang hidup di abad ketujuh hijriah adalah Abu al-Fida' Ismail bin Umar bin Katsir bin Zara' bin Katsir ad-Dimasyqi, atau yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Katsir saja. Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bushra sebelah timur kota Damaskus, pada tahun 700 H (1301) Ayahnya berasal dari Bushra, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibn Katsir. Ia adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal dengan ahli ceramah. Hal ini sebagaimana di ungkapkan Ibn Katsir dalam kitab tarikhnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, dan dikuburkan di sana.
Ibnu Katsir berasal dari keluarga yang terhormat. Ayahnya seorang ulama terkemuka di masanya Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah pribadi Ibn Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibn Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan,. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 6 tahun. Oleh karena itu, sejak tahun 706 H/1306 M ia hidup bersama kakaknya (Kamal Ad-Din Abdul wahab ) di Damaskus. Di sanalah ia mulai belajar. Ibn Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat -kala itu Ibn Katsir baru berumur tiga tahun-, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibn Katsir kecil. Dan genap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.
Genap usia tujuh puluh empat tahun akhirnya ulama ini wafat mengahadap Ilahi-Allâhu yarham- tepatnya pada hari Kamis, 26 Sya’ban 774 H. Ia di kuburkan di pemakaman shufiyah, dalam perjalanan belajar dan mengajarkan ilmu,beliau tetap dikenang sebagai ulama revosioner yang mampu merubah paradikma masyarakat. Dan beliau termasuk ulama yang berjasa yang memiliki karya yang berman faat bagi orang lain. Imam ibnu katsir meninggal dunia tidak lama setelah ia menyusun kitab Al-Ijtihad fi Talab al-Jihad (Ijtihad Dalam Mencari Jihad) dan dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meski kini beliau telah lama tiada, tapi peninggalannya akan tetap berada di tengah umat, menjadi rujukan terpercaya dalam memahami Al Qur’an serta Islam secara umum. Umat masih akan terus mengambil manfaat dari karya-karyanya yang sangat berharga.

 Latar belakang pendidikan
Imam ibnu katsir lahir dilingkungan yang berpendidikan, ayah nya adalah seorang ulama yang terkemuka pada saat itu. Ia didik oleh ayahnya dan mengajrkan banyak hal sehingga dari kecil ketertarikannya dengan ilmu sangatlah kuat. . Semenjak ayahnya wafat -kala itu Ibn Katsir baru berumur tiga tahun-, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibn Katsir kecil. Dan genap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.
Pada tahun 707 H, Ibn Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syeh Damaskus, yaitu Syeh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) -terkenal dengan ibn al-Farkah- tentang fiqh syafi’i. lalu belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syeh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, syeh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibn Asakir (w. 723), Ibn Syayrazi, syeh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), syeh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, syeh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), syeh Muhamad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada syeh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan pendamping hidupnya. Secara khusus, dia sempat berkonsentrasi untuk mempelajari hadits. Karena itu, tidak mengherankan bila dia kemudian hafal kumpulan hadits sekaligus telaahnya yang panjang, yang ditulis oleh Ibnu Hajib, ketika dia masih berusia lima belas tahun. Karena kecintaannya kepada hadits itu pula dia lalu belajar, bahkan menikah dengan putri Yusuf bin Zaki al-Mizzi. Syeh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u al-kutub-i al-sittah“.
Begitu pula, Ibn Katsir berguru Shahih Muslim kepada syeh Nazmuddin bin al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibn Katsir; mereka adalah Ibn Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibn Katsir yang terwarnai dengan Ibn Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibn Taymiyyah.

 Pandangan Ulama terhadap ibnu katsir

Imam Suyuthi , ulama berkebangsaan Mesir, Ia berkata, “al-Hafizh Ibn Katsir adalah master dalam ilmu hadits, ia mengetahui hukum hadits, illat hadits, serta mata rantai rawinya. Begitu juga dalam al-jarh wa al-ta’dîl. ia telah membuahkan karya yang sangat monumental sekali, dan tidak ada ulama yang mengarang seumpama itu”. Sosok ulama seperti Ibn Katsir, memang jarang kita temui, ulama yang lintas kemampuan dalam disiplin ilmu. Spesialisasinya tidak hanya satu jenis ilmu saja. Selain itu, ia juga sangat produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang lahir dari tangan dan ketajaman berpikirnya Sungguh suatu pengakuan yang jujur dan penghargaan yang tidak berlebihan kiranya ketika seorang mufassir besar, imam Suyuthi (w.911) berkata mengenai tafsir ibn katsir, “lam yu-laf ‘alâ namthihi mitsluhu“. Setelah diteliti oleh muhaqqiq dalam bidang tafsir dan hadits, tafsir ibnu katsir sangat ilmiah dan kaya dengan referensi yang sulit di dapat. Bahkan sekarang ada beberapa jenis referensi yang sudah tidak ada dan sangat sulit dicari.
Sementara murid-murid beliaupun tidak sedikit, diantaranya Syihabuddin bin haji. Pengakuan yang jujur lahir dari muridnya, “Ibn Katsir adalah ulama yang mengetahui matan hadits, serta takhrij rijalnya. Ia mengetahui yang shahih dan dla’if”. Guru-guru maupun sahabat beliau mengetahui, bahwa ia bukan saja ulama yang kapabel dalam bidang tafsir, juga hadits dan sejarah. Sejarawan sekaliber al-Dzahabi, tidak ketinggalan memberikan sanjungan kepada Ibn Katsir, “Ibn Katsir adalah seorang mufti, muhaddits, juga ulama yang faqih dan kapabel dalam tafsir”.

 Interaksi sosial
Kondisi pada saat itu, dunia Islam tengah diliputi tragedi yang sangat memilukan, yaitu dengan dihadapkannya mereka pada sifat biadab dari Bangsa Tartar, di mana banyak ulama dan kaum Muslimin yang dibantai, buku-buku penting dimusnahkan, dan pusat-pusat peradaban lslam dihancurkan, semua itu tidak pernah mematikan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di antara ketakutan demi ketakutan yang terus meneror, dia mengayuhkan langkahnya untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang masih tersisa.
Ibnu Katsir adalah seorang pemikir dan ulama Muslim.. Tercatat, guru pertamanya adalah Burhanuddin al-Fazari, seorang ulama penganut mazhab Syafi'i. Ia berguru kepada Ibnu Taymiyyah di Damaskus, Suriah dan kepada Ibnu al-Qayyim. Ibnu Katsir menulis tafsir Qur'an yang terkenal yang bernama Tafsir ibnu Katsir. Hingga kini, tafsir ini merupakan yang paling sering digunakan dalam dunia Islam. Kontribusi imam ibnu ktsir terhadap masyarkat sangatlah berpengaruh tercatat dari zaman kezaman smpai sst ini karya beliau sangatlah berharga dan berpengaruh.




 Karya tertulis imam ibnu katsir

1. Tafsîr al-Qur`an al-azhîm“. Kitab tafsir ini, sering dijadikan rujukan oleh setiap ulama. Metode analisisnya sangat tajam, yang membuat kekhasan tersendiri dalam tafsir ini. Para ulama mengkategorikan tafsir ini pada tafsir bil-ma`tsûr.
2. “al-Bidâyah wa al-nihâyah“. Buku ini membahas tentang sejarah. Buku ini sering dijadikan rujukan para peneliti sejarah. Sumbernya begitu autentik. Karyanya ini berisikan berbagai tinjauan sejarah. Pertama, pemaparan tentang sejarah dan kisah Nabi-nabi beserta umatnya di masa lalu. Kisah ini ditopang dengan dalil-dalil yang kuat, baik itu dari al-Qur`an maupun al-Sunnah, juga pendapat-pendapat para mufassir, muhaddits dan sejarawan. Kedua, Ia menguraikan secara jelas mengenai bangsa Arab jaman jahiliyah, kemudian bangsa Arab ketika kedatangan Nabi Saw dan perjalanan dakwah Nabi Saw beserta para sahabatnya. Buku ini di akhiri dengan kisah Dazzal, juga ia ungkapkan mengenai tanda-tanda kiamat lainnya.
3. “al-Takmîl fî makrifati al_tsiqât wa al-dlu’afâ` wa- al majâhil”.
buku ini adalah rujukan dalam ilmu hadist serta untuk mengetahui jarh wa ta’dil. karya ini adalah karya gabungan dua karya imam Dzahabi yaitu Tahdzîbu al-kamâl fî asmâ`i al rijâl dan Mîzân al i’tidâl fî naqdi al-rijâl dengan tambahan dalam jarh wa ta’dil.
1. al-Hadyu wa al-sunan fî ahâdits al-masânid wa al-sunan atau; yang mashur dengan istilah jâmi’ al-masânid. Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menggabungkan kitab musnad imam Ahmad (w.241), al-Bajjar (w.291), Abi Ya’la (w.307), Ibn Abi Syaybah (w.297), bersama kitab yang enam. Kemudian Ia menyusunnya dengan bab per bab.
2. al-Sîrah al-nabawiyah.
3. al-Musnad al-syaykhân (musnad Abu Bakar dan Umar).
4. Syamâil al-rasûl wa dalâilu nubuwwatihi wa fadlâilihi wa khashâ`isihi (di nukil dari kitab bidâyah wa nihâyah)
5. Ikhtishar al-sîrah al-nabawiyah. Di ambil dari bidâyah wa nihâyah terkhusus mengenai kisah bangsa Arab jaman jahiliyah dan jaman Islam serta sirah Nabi Saw.
6. al-Ahâdîts al-tawhîd wa al-rad ‘alâ al-syirk.
7. syarh Bukhari (tidak selesai)
8. Takhrîj ahâdîts muktashar ibn al-hâjib.
9. Takhrîj ahâdîts adillatu al-tanbîh fî fiqh al-syaafi’i.
10. Muktashar kitab Bayhaqi (al-madkhal ilâ al-sunan)
11. Ikhtishar ‘ulûmu al-hadîts li ibn al-shalâh.
12. Kitâb al-simâ’.
13. Kitâb al-ahkâm (tidak selesai hanya sampai bab haji saja)
14. Risâlah al-jihâd.
15. Thabâqât al-syafi’iyyah.
16. al-Kawâkib al-dirâri (dinukil dari kitab bidâyah wa nihâyah)
17. al-Ahkâm al-kabîrah.
18. Manâqib al-syâfi’i.
Sementara dalam ilmu fikih, tak ada yang meragukan keahliannya. Bahkan, oleh para penguasa, ia kerap dimintakan pendapat menyangkut persoalan-persoalan tata pemerintahan dan kemasyarakat yang terjadi kala itu. Misalnya saja saat pengesahan keputusan tentang pemberantasan korupsi tahun 1358 serta upaya rekonsiliasi setelah perang saudara atau peristiwa Pemberontakan Baydamur (1361) dan dalam menyerukan jihad (1368-1369). Selain itu, beliau menulis buku terkait bidang fikih didasarkan pada Alquran dan hadis
1. al-Ahkâm al-kabîrah.
2. Manâqib al-syâfi’i.
3. Kitâb al-simâ’.
4. Kitâb al-ahkâm (tidak selesai hanya sampai bab haji saja)
5. Risâlah al-jihâd.
6. Thabâqât al-syafi’iyyah (Peringkat-peringkat Ulama Mazhab Syafii).

 Kitab Tafsir
Salah satu karyanya yang terkenal dan monumentau beliau adalah dalam ilmu tafsir yang berjudul :
1. “Tafsîr al-Qur`an al-azhîm“. Kitab tafsir ini, sering dijadikan rujukan oleh setiap ulama. Metode analisisnya sangat tajam, yang membuat kekhasan tersendiri dalam tafsir ini. Para ulama mengkategorikan tafsir ini pada tafsir bil-ma`tsûr.
2. Tafsir Alquran al-Karim sebanyak 10 jilid. Kitab ini masih menjadi bahan rujukan sampai sekarang karena pengaruhnya yang begitu besar dalam bidang keagamaan. Di samping itu, ia juga menulis buku
3. Fada'il Alquran (Keutamaan Alquran), berisi ringkasan sejarah Alquran.
Kitab fenomenalnya yang dianggap paling penting dan terkenal adalah judul yang pertama. Ada dua bagian besar sejarah yang tertuang menurut buku tersebut, yakni sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan hingga masa kenabian Rasulullah SAW dan sejarah Islam mulai dari periode dakwah Nabi ke Makkah hingga pertengahan abad ke-8 H. Kejadian yang berlangsung setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian tersebut. Tercatat, kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah merupakan sumber primer terutama untuk sejarah Dinasti Mamluk di Mesir. Dan karenanya kitab ini seringkali dijadikan bahan rujukan dalam penulisan sejarah Islam.
Ia memiliki metode sendiri dalam bidang ini, yakni tafsir yang paling benar adalah ; tafsir Alquran dengan Alquran sendiri; bila penafsiran Alquran dengan Alquran tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan dengan hadis Nabi Muhammad SAW--menurut Alquran sendiri, Nabi memang diperintahkan untuk menerangkan isi Alquran; jika yang kedua tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat karena merekalah orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya Alquran; jika yang ketiga juga tidak didapatkan, maka pendapat dari para tabiin dapat diambil.
 Metode Ibn Katsir dalam Tafsir
Karakater karya seseorang tidak akan bisa dilepaskan dari kecondongan minat orang tersebut, kira-kira seperti itu jugalah tafsir ibn katsir. Sosok Ibnu Katsir yang condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga hal ini tidak bisa lepas dari kondisi jaman saat itu, perhelatan aliran pemikiran pada abad ke 7/8 H memang sudah kompleks. Artinya telah banyak aliran pemikiran yang telah ikut mewarnai karakter seseorang.
Pemahaman yang orisinil untuk mempertahankan keontetikan Qur`an dan sunnah terus dijaga inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Selain itu, kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqah-thariqah shufiyah telah beredar luas kala itu. Islam telah berkembang pesat dan banyak ‘agamawan’ yang masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula mempengaruhi /mewarnai perkembangan wawasan pemikiran.
Ibnu Katsir yang telah ter-sibghah dengan pola pikir gurunya (Ibn Taymiyah) sangat terwarnai dalam metode karya-karyanya. Sehingga dengan jujur Ia berkata, bahwa metode tafsir yang ia gunakan persis sealur dan sejalur dengan gurunnya Ibnu Taymiyyah. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir ibn katsir telah menjadi rujukan kategori tafsir bil-ma’tsur. Yang tentunya hal ini tidak bisa dipisahkan dari metode beliau dalam karyanya.
Metode yang Ia lakukan dalam tafsir.
Metode yang ia gunakan dalam karyanya adalah sebagai berikut:
1. Menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an. Pendeknya, Ia menjelaskan satu ayat dengan ayat yang lain, karena dalam satu ayat di ungkapkan dengan abstrak (mutlak) maka pada ayat yang lain akan ada pengikatnya (muqayyad). Atau pada suatu ayat bertemakan umum (’âm) maka pada ayat yang lain di khususkan (khâsh). Ibn Katsir menjadikan rujukan ini berdasarkan sebuah ungkapan, “bahwa cara yang paling baik dalam penafsiran, adalah menafsirkan ayat dengan ayat yang lain”.
2. Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah. Banyak sekali firman Allah Swt yang menyuruh untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya (baca, Q.s. 3:32, Q.s. 4;59, dll). Begitu juga banyak hadist-hadits yang memerintahkan hal tersebut. Oleh karena itulah, Ibn Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadits –bahkan mencapai 50 hadits – kasus ini bisa dilihat ketika menafsirkan surat al-Isrâ.
3. Tafsir Qur`an dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari al-Qur`an dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya, karena para sahabat adalah orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu. Ia menjadikan konsep ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya atas perkataan Ibn Mas’ud: “demi Allah tidak suatu ayat itu turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya. Dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah, pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai didoakannya Ibn Abbas oleh Rasululllah saw, “ya Allah fahamkanlah Ibn Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta’wil kepadanya“.
4. Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Cara ini adalah cara yang paling akhir dalam cara menafsirkan al-Qur`an dalam metode bil-ma`tsur. Ibn Katsir merujuk akan metode ini, karena banyak para ulama tafsir yang melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’in yg dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibn Ishaq yang telah menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibn Abbas, dan ia menyetujuinya. Sufyan al-Tsawri berkata, “jika Mujahid menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama tabi’in adalah Sa’id bin Jabir, Ikrimah, Atha’ bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajdi, Sa’id bin Musayyab, Abu al-’aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, al-Dahhaak bin muzaahim Radliyall^ahu ‘anhum.
5. Ra’yu atau akal. Pada dasarnya Ibn Katsir sangat tidak berkenan jika dalam referensinya menggunakan akal yang tidak di landasi pijakan keilmuan apapun. Jika ini adanya, ia sangat tidak setuju bahkan mengharamkannya, sekalipun penafsirannya betul. Ibn katsir memperkuat argumennya ini dengan landasan sebuah hadits, “barang siapa yang berbicara dalam al-Qur`an dengan ra’yunya, dan dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, maka bersiap-siaplah menempati neraka”. Ini di satu sisi, sementara di sisi lain, ia memperbolehkan penafsiran dengan ra’yu jika di dasari keilmuan. Pendek kata, memenuhi dan mumpuni dalam sarat-sarat yang telah ditentukan.
Sikap Ibn Katsir ini tentunya mempunyai sandaran dan landasan yang ilmiyah hal ini bisa kita cermati ketika Ia memberikan argumennya baik argumen naql ataupun aql. Dalil naql yang Ia gunakan, salah satunya ialah hadis Saw “barang siapa yang ditanya, kemudian ia menyembunyikan “kesaktiannya”, ia akan diberi kedali dari api di akhirat nanti”. Dalil ini, Ia komunikasikan dengan ungkapan Ibn Abbas, “tafsir itu 4 jenis, orang arab yang mengerahui orientasinya karena kearabannya (bahasa), tafsir seseorang yang tidak berdalil karena ketidak tahuannya, tafsir yang hanya diketahui oleh ulama saja dan tafsir yang hanya diketahui oleh allah swt saja”. Sementara dalil logikanya Ia lontarkan, ketika seseorang tidak boleh menafsirkan karena ketidaktahuannya, maka tidak mengapa jika seseorang menafsirkan karena “kesaktiannya”, yang sesuai dengan syara dan dialek bahasa (kafabel dalam bidangnya).
III. Contoh Metodologinya

Surat Quraisy
"Karena kebiasaan orang Quraisy. "Karena, kebiasaan dan berkumpulnya mereka di kota Mekkah dalam keadaan aman sentosa. Namun, adapula yang mengatakan, adalah menjadi kebiasaan mereka mengadakan perjalanan di musim dingin di negeri Yaman dan perjalanan di musim panas ke kota Syam, uuntuk berdagang dan keperluan lainya. Kemudian, mereka kembali ke negeri mereka dalam keadaan sentosa. Adapun tentang pemukiman mereka di negeri itu adalah sebagaimana Firman Allah; (Al-An kabut; 67)
Kemudian Allah SWT memberikan bimbingan kepada mereka untuk mensyukuri nikmat yang besar ini, maka Dia berfirman," Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini" artinya , hendaklah mereka mentauhidkan-Nya dalam beribadah, sebagiamana firman-Nya,"Katakanlah, Hanyalah aku di prerintahkan untuk beribafdah kepada Rabb negeri yang telah di muliakan-Nya ini. Dan milikNyalah segala sesuatu. Dan aku di perintahkan untuk masuk ke dalam golongan orang-orang Muslim."
Firman Allah SWT, " Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar,"yaitu telah memberikan makan itu adalah pengurus rumah ini, dan mengamankan mereka dalam ketakuatn artinya Allah telah member karunia kepada mereka berupa keamanan dan kesenangan. Maka tunggalkan Dia dalam beribadah, jangan menyekutukan-Nya dengan yang lain. Dan janganlah mereka menyembah selain-Nya berupa patung, saingan dan berhala. Itulah sebabnya, siapa saja yang memperkenankan perintah ini maka Allah akan memberikan keamanan pada dirinya di dunia dan akhirat. Dan, barangsiapa yang berbuat durhaka kepada-Nya, maka dia akan mencabut keamanan itu, baik di dunia maupun di akhirat Sebagaimana Firman Allah (An-Nahl;112)
Surah an-Nashr
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a berkata,"Umar pernah menggabungkan aku dengan para tetua Perang Badr. Seolah-olah di antara mereka ada yang tidak setuju, lalu dia berkata,"Mengapa dia ikut bergabung bersama kiat padahal kita pun mempunyai anak-anak yang seumur denganya? Umar menbjawab," Dia temasuk orang yang sudah kamu kenal.
Maka pada suatu hari, dia memanggilku dan menggabungkan aku dengan mereka, padahal pada hari itu Aku tidak beranggapan melainkan aku hendak diminta pendapat untuk mereka. Umar Berkata, "Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah; "Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan? Diantara meraka ada yang mengatakan,"Kita diperintahlkan untuk memui Allah SWT dan memohonkan ampunan kepada-Nya, bila kita ditolong dan memperoleh kemenangan . Namun sebagian yang lain terdiam, tidak ada sepatah katapun yang berkata. Lalu Umar bertanya kepadaku, seperti itu pulakah pendapatmu wahai Ibnu Abbas? Aku menjawab, Tidak. Dia bertanya, kalau begitu, bagaiamana pendapatmu?Kataku, itulah ajal Rasulullah SAW yang di beritahukan Allah kepada kemenangan. Maka inilah pertanda ajal engkau telah dekat. Dan kamu liaht manusia ,asuk agama Allah SWT dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha penerima Toabat. Umar berkata, Aku tidak mengetahui maksud surah inimelainkan sebagiaman yang telah engaku katakana. (HR. Imam Bukhari)
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a, Ketika turun ayat apabial telah datang pertolongan Allah SWT dan kemenangannya, Rasulullah SAW mengatakan " Kematian diriku telah diumumakn". Beliau wafat di tahun itu. Diriwayatkan pula bahwa Aisyah r.a. berkata, Di akhir Usianya, Rasulullah SAW sering membaca,"Mahasuci Allah. Segala puji bagi-Nya. Aku meminta ampun kepada Allah. Dan aku bertobat kepadan-Na. " Dan Beliau mengatakan,"Tuhan-ku telah memerintahuakn kepadaku bila aku telah melihatnya agar bertasbih kepada-Nya, Memuji-Nya dan memohon ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha peneriamToabt. Dani kini aku telah menyaksiakn sendiri: apabila telah dating pertolongan Allah dan kemenangan.(HR. Imam Muslim).
Ssetelah turn surat ini, Rasulullah SAW, lebih bersungguh-sungguh lagi dalam beramal untuk akhiratnay. Dan Rasulullah SAW bersabda:"Kemenanagan itu telah dating, pertolongan Allah SWT itu telah dating dan penduduk Yaman dating. "Tiba-tiba seorang bertanya, "Ya Rasulullah SAW, siapakah penduduk Yaman itu?"Rasullah SAW menjawab ,"Warga yang hatinay lembut-lembut dan watak mereka sangat peramah. Keimanan ala Yaman dan pemahaman ala Yaman ."
Maksud suarat an-Nashr yang telah dijelaskan oleh sebagian pelaku Perang Badr yang duduk bersama Umar, sebagiaman telah dikisahkan dalam hadits Bukhari di muka, bahwaAllah telah memerintahkan kepada kiat bahwa bila Allah telah menaklukannegara-negara dan benteng-bentengpertahan untuk kita, maka kiat haurs memuji, mensyukuri, memahasucikan-Nya adalah maksud yang baik dan benar.
Lalu ada beberapa orang yang mengatakan, "Bahwa shalat yang dilakukan oleh beliau itu adalah shalat dhuha. "Pendapat ini tidak dapat diterima, sebab Rasulullah SAW tidak pernah membiasakanya dikalau beliau ada dirumah, maka bagaiaman mungkin Rasulullah SAW melakukan Shalat dhuha sedangakn beliau sedang bepergian dan tidakk berniat untuklbermukim di kota Mekkah?. Itulah sebabnya Rasululah SAW tringgal disana sampai akhir Ramadhan, kira-kira selama 19 hari. Belaiu menggashar shalat dan tidak berpuasa; beliau dan seluruh bala tentaranya. Bala tentara Rasullullah mengatakan bahw shalat yang dilakuak Rasulullah SAW pada saat itu adalah shalat kemenangan. Mereka mengatakan bahwa disunahkan bagi seorang panglima perang untuk melakukan shalat sebanyak 8 rakaat bila menaklukan suatu Negara.
Kemudian para ulama ada yang mengatkan bahwa pelaksannan shalt tersebut hanya dne3gan satu kali salam dalam 8 rakaat tersebut. Namunyang paling Rajih adalah melakukan shalat tiap dua rakaat. Surat Hajj:70
Allah memerintahukan ihwal kesempurnaan pengetahuan-Nya terhadap makhluknya dan bahwa pengetahuanNya itu meliputi segala perkara yang ada dilamgit dan dibumi. Maka, tidak ada sbesar dzarrahpun yang ada di bumi an dilangit, bahkan sesuatau yang lebih kecil atau lebih bessar dari pada itu yang luput dari pengetahuanyaNya dan bahwa Allah SWT mengetahui seluruh perkara sebellum perkara itu ada. Dia menempatkan semua itu dalam Laum Mahfuz. Hal ini ditegaskan pula dalam shahih Muslim, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW besabda;
"Allah telah menempatkan takdir-takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi ketika itu, Arsy-Nya(singgasanaNya diatas air)" H.R. Muslim
Dalam kitab sunan Rasulullah SAW bersabda dari hadits sebagian kelompok sahabat
"yang pertama kali diciptakan Allah ialah kalam (pena) . Allah berfirman kepadanya,"tulislah!Qalam berkata,'apa yang harus aku tulis?Allah berfirman,"Tulislah apa yang akan terjadi. Maka, qalampun melukiskan apa yang akan terjadi hingga hari kiamat."
Itulah maksud firman Allah SWT kepada Nabi SAW "apakah kamu tidak mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi. Inilah bagian dari kesempurnaan pengetahuan Allah SWT terhadap apa yang dilakukan manusia. Bahkan, Dia mengetahui sebelum penciptaan bahwa orang ini akan taat atas pilihanya pula. Hal ini ditetapkan disisinya. Pengetahuan-Nya meliputi segala perkara, hal itu mudah dan ringan baginya. Karena itu, Allah berfirman, bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.
 Keistimewaan Metodologi Ibnu Katsir
Keistimewaan tafsir ibn katsir ini bisa kita abtraksikan ke dalam beberap poin, pertama, nilai (isi) tafsir tersebut tidak hanya tafsir atsari saja (bilma’tsur), yang menghimpun riwayat serta khabar. Tapi beliau juga menghimpun referensi yang lain. Kedua, menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadnya, kesimetrisan uslubnya serta keagungan maknanya. Ketiga, menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan dla’if, dengan mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa ta’dîl. Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda’ifkan riwayat yang lain. Keempat, keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunuia ataupun di akhirat kelak.
Kelima, jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan konsep jarh wa ta’dil. Keenam, mengekspresikan manhaj al-salâfu al-shaleh dalam metode dan cara pandang, sebagaimana yang tertera dalam Qur`an dan Sunnah.
Betapa karya ini kaya dengan ilmu yang menyimpan mutiara-mutiara berharga, karena Ibn Katsir menjadikan referensi karyanya yang diambil dari berbagai disiplin ilmu, Baik itu tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu-ilmu hadits, lughah, sejarah, fiqh, ushul fiqh, bahkan geografi. Dari hasil penelitian, tafsir ibn katsir menjadikan rujukannya tidak kurang dari 241 referensi yang terkumpul dari berbagai disiplin ilmu. Dari jumlah itu bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kutub al-muqaddasah; al-qur`an, at-taurat dan injil.
2. Tafsir dan ilmunya, tidak kurang dari 36 judul buku dari berbagai pengarang.
3. Hadits, syarh hadits dan ilmu-ilmunya terdiri dari 71 judul buku dari berbagai pengarang.
4. Fiqh dan ilmu ushul fiqh yang terhipun dari 32 judul buku.
5. Sejarah tidak kurang dari 25 judul buku.
6. Bahasa dan disiplin ilmunya 4 judul buku.
7. Kategori berbagai disiplin ilmu terdiri dari 44 judul buku.
8. Kategori karya umum: 7 judul buku.
9. Naql langsung dari guru-guru ibn katsir.
10. Kategori umum yang tidak bisa dilacak kurang lebih 13 jenis.
 Idiologi Ibn Katsir dan Masa Sekarang
Sebagai seorang yang tersohor pada abad 8. Ibn Katsir layak disejajarkan dengan ulama-ulama terkemuka seperti Imam Thobari, Qurtubi dll. Beliau bukan saja ahli dalam satu pengkajian, namun memiliki berbagai macam dimensi ilmu baik dalam bidang sejarah, tafsir maupun hadits. Bahkan Ibn Majah menyatakan beliau selalu tidak terlepas dari dunia keilmuan, ingatannya sangat kuat dan kehidupannya selalu dipenuhi dengan menulis kitab.5 Didekasi yang tulus serta berkelanjutan mengantarakan Ibn Katsir menduduki kasta tinggi dalam dunia keilmuan. dalam sejarahnya beliau melakukan ritual berguru dari satu tempat ke tempat lain.6 Hasilnya beliau menelorkan berbagai macam ragam karya yang berkualitas. Dari hasil karya yang tersohor adalah dalam bidang tafsir yang dikenal dengan nama tafsir Ibn Katsir.7 Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting yakni -tafsir yang paling benar- adalah ; tafsir Alquran dengan Alquran sendiri; bila penafsiran Alquran dengan Alquran tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan dengan hadis Nabi Muhammad SAW–menurut Alquran sendiri, Nabi memang diperintahkan untuk menerangkan isi Alquran; jika yang kedua tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat karena merekalah orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya Alquran; jika yang ketiga juga tidak ditemukan, maka pendapat dari para tabiin dapat diambil.8
Seorang ulama kontemporer Muhammad Rasyid Ridho memaparkan bahwa tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufasir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi perbahasan i'rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufasir; juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Qur'an secara umum atau memahami hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.
Dengan metode bilma’tsur, tafsir ini memberikan keunikan dan bobot tersendiri. Selain berhati-hati dan teliti dalam menafsirkan al-qur’an, juga memberikan kemudahan dalam memahami isi kandungan al-qur’an. Selain juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabiin Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif (lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar; Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini. Dengan keunikan itulah tafsir Ibn Kasir dijadikan rukukan oleh para ulama dan mufassir hingga sekarang.
Meski tercatat sebagai buku turast, tetapi tidak akan usang jika disandingkan dengan masa kekinian. Karya-karya yang mustahil dijumpai para era sekarang ini masih dibutuhkan umat sebagai rujukan dalil dan penafsiran. Dengan metode kuat dan akurat yaitu bilma’tsur keilmiahan serta kebenarannya tidak akan diragukan lagi. Beda dengan karya-karya ulama lain yang sebagian mengetengahkan penafsiran dengan metode arro’yu (penafsiran dengan akal)10 kadang kala memberikan pemikiran kontras dengan orang lain. kendati tidak semua penafsiran semacam ini berlabelkan makruh, akan tetapi bagi sebagian ulama ekstrim yang telah mengecap no atas pencampuran metode akal tentu dianggap sebagai penafsiran membahayakan. Dengan demkian sudah jelas bahwa penafsiran dengan metode seperti ini tidak akan mewakili seluruh komunitas ulama baik dulu maupun sekarang. Itulah sebabnya sebagian besar karya-karyanya tenggelam oleh metode yang diusung oleh Ibnu Katsir, Imam Thobari dkk
Oleh sebabnya alqur’an sebagai wahyu Tuhan tidak serta merta ditafsirkan dengan metodologi membabibuta. Penulis sendiri jera dengan artikel berjudul “Kecenderungan Berideologi dalam Tafsir Al-Qur’an”11 yang ditulis intelektual muda kairo Dede Sulaiman, saya menganggap beliau sangat alergi dengan karya-karya yang yang didentumkan oleh kaum salaf. Dalam tulisannya beliau mengkritik bahwa hanya kaum salaf saja yang berhak menafsirkan al-qur’an dimana dapat menimbulkan efek samping terhadap pembatasan otoritas penafsiran oleh sebagian kelompok umat Islam. Bagi saya ungkapan baliau sedikit provokatif terkait dengan kaum salaf. Dan sejujurnya bahwa kaum penulis sekarang tidak bisa menciptakan karya yang sepadan dengan ulama zaman dahulu . Saat ini seorang penulis lebih banyak menghasilkan karya yang tidak utuh, belum lagi kecondongan akan material akhirnya karyapun tidak berkualitas.
Parodi ini masih belum berhenti, hasil karya penafsiran zaman sekarang lebih cenderung mencari titik lemah. Dalam kontek ini penafsiran yang masih ada ikhtilafnya diperparah dan dibesar-besarkan dengan metode dibuat-buat. Itulah mengapa karya atau penafsirkan antara ulama salaf dengan zaman sekarang jauh berbeda. Hanya satu yang bisa kita lakukan adalah merujuk pada ulama salaf.
 Analisi dan kritik tafsir ibnu katsir
Ibn Katsir, sebagaimana manusia biasa, tentunya tidak akan terlepas dari sifat lupa, maupun salah. Dari hasil penelitian, terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam karyanya. Sejauh ini, yang penulis ketahui, catatan tersebut adalah buah karya para peneliti ulama azhar, yang melakukan reseach terhadap karya-karya klasik. Hasil tahqiq turats yang di gencarkan oleh pihak universitas, setidaknya hal ini telah memberikan kontribusi yang berharga dalam menjaga warisan klasik.
Memang catatan yang ditujukan kepada tafsir ini tidak mengurangi keilmiahan dan nilai tafsir ini -insya allah-. Dalam hal ini, catatan tersebut di uraikan sebagai berikut;
1. Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya, dalam tafsir surat Âli ‘Imrân:169. Ia menyebutkan riwayat Ahmad; tsana Abdul Samad, tsana Hamâd, tsana Tsabit, ‘an Anas marfû’an, “mâ min nafsin tamûtu laha…” al-hadits. Ibn katsir berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“. Hadits ini dikeluarkan oleh imam Muslim dari jalan Humed dan Qatadah dari Anas. Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dari Tsabit melalui jalur Anas. Sebenarnya yang meyendiri itu adalah riwayat Ahmad, “tafarrada bihi ahmad min tharîq Hamâd“.
2. Kesalahan dalam nama sahabat yang meriwayatkan hadits, atau penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak terdapat hadits sahabat tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir surat yusûf:5. Dalam penafsiran surat ini, Ia mengungkapkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan sebagian Ahli Sunan dari Muawiyyah ibn Haydah al-Qusyayrî sesungguhnya dia berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya ‘alâ rajuli thâ`ir mâ lam tu’bar…..“. Seperti inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah ibn Haydah yang diriwayatkan oleh imam Ahmad. Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibn Majah serta yang lainnya meriwayatkan hadits dari Abi Rizin al-’Uqayli. Padahal hadits ini tidak diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin al-’Uqayli.
3. Kesalahan dalam mata rantai sanad. Contoh, tafsir surat al-An’am:59 dari ibn Abi Hâtim dengan sanadnya kepada malik ibn Sa’îr, tsnâ al-A’mas, dari Yazid ibn Abi Ziyad dari Abdullah ibn al-Harits dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin….“. ibn Katsir berkata, seperti inilah ibn Jarir meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn Yahya al-Hasani Abu al-Khathab. Sementara dalam tafsir ibn katsir di dapati bahwa yang meriwayatkan itu, Ziyad ibn Abdullah al-Hasani abu al-Khatab. Ini jelas keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Malik ibn Sa’ir melalui jalan Ziyad ibn Yahya al-Hasani abu al-Khatab dari Ziyad.
4. Kurang menyentuh dalam menyandarkan riwayat. Contoh, sebagaimana yang Ia ungkapkan dalam menafsirkan surat Âli ‘Imrân:180. Ia mengemukakan hadits, “lâ ya`ti al-rajulu mawlâhu fayas`aluhu…“. Ibn Katsir merasa cukup menyandarkan dalam periwayatannya kepada ibn Jarir dan Ibn Mardaweh. Padahal, hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i dan yang lainnya, yang lebih utama untuk di sandarkan.
5. Lupa dalam menukil beberapa perkataan ulama. Contonya, tafsir surat al-A’raf:8. Ia menyebutkan hadits riwayat imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza al-hadîts hasan gharîb“.
 Penutup kesimpulan
Ibn Katsir sebagai sosok ulama yang saleh telah meninggalkan karya yang sangat bermanfaat sekali. lontaran keilmuan yang ia lontarkan, merupakan gayung bersambut dari amanah yang telah diembankan kepada ummat. Itulah salah satu tanggung jawab yang ia kontribusikan kepada kita. Metode serta cara berpikirnya telah memperlihatkan dan mempersembahkan metode yang dijadikan standar dalam reseach, dan senantiasa dijadikaqn tolak ukur.
Tidak ada gading yang tak retak, begitulah sebuah adagium menghentakan kita. Begitu juga dengan rangkuman ringkas ini masih jauh dari kesempurnaan, apalagi dari sisi keilmiahan yang ideal. Tapi insya Allah walaupun sedikit, bagaikan kita melukis di atas batu. Ada satu kata dua kata yang bisa kita ambil untuk di jadikan hikmah dan ibrah dalam menjalani kehidupan ini.


Daftar pustaka

1. Ibnu katsir, ringkasan tafsir ibnu katsir, Terj,Gema insane prees,Jakarta : Cet II,jilid 1, Hal
2. Muhammd Chirzin, Pemikiran tauhid Ibnu taimiyah Yogyakarta : Dana bhakti primayasa,1999.
3. http://www.dakwatuna.com/author/attabiq
4. Dr. Yusuf Al-Qardawi, Bagaiamana Berinteraksi dengan Al-Qur'an, Terj(Kathur Suahrdi), Pustaka Al-Kautsar; Jakarta, 2000, Cet. II
5. www. Sarapan Pagi.com, 12 Januari 2009
6. Buletin An-Naba’ Edisi 11 Tahun ke-2
7. Abdul Azis Dahla,..(et. Al), Ensiklopedi Hukum islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve jilid 3; Jakarta, 1996, Cet. www. Dunia Islam.com, Pal denono. 12 Januari 2009
8. Syaikh Manna’ Al-Qathathan, Studi Ilmu Al-Qur’an, Terj(H.Aunur Rafig El-Mazni, MA), Pustaka Al-Kautsar: Jakarta, 2008, Cet.III
9. Dr. Subhi Sholih, Mabahis fi `Ulumul Qur`an, Berut, Darul Ilmi Lil Malayien, Cet 17, H. 291 Tafsir mufasir, hal.164
10. Abul fidâ al-hafizh bin katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, yang di tahkik oleh Dr. Ahmad abdul wahab faith, Vol I, dar al-Hadits, kairo, cet. VI, 2002, hal. 6.
11. Syaikh mohammad Sa’id an-Nursiy, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2007, Cet.I

1 komentar: