Kamis, 12 Februari 2009

FATWA DAN FIKIH REALITAS (Fiqhul Waqi’)

Oleh: Apriyanto
Mata Kuliah : Ilmu Dakwah


A. Mukaddimah

Akhir-akhir ini Majlis Ulama Indonesia atau MUI mendapatkan banyak penolakan terhadap berbagai fatwa yang dikeluarkannya, terutama fatwa terbarunya mengenai haramnya rokok dan golput, berbagai argumentasi dan dalil atau dalih penolakan di dalam berbagai forum dan berbagai media massa disasarkan kepada MUI.
Jika dianalisa karakteristik orang-orang yang menolaknya, sekurangnya terdapat tiga macam latar belakang akan sikapnya ini, antara lain :
1. Perbedaan madzhab keagamaan yang dianut, yang mana sebagian madzhab telah memfatwakan haramnya rokok dan menolak sistem demokrasi di Indonesia, sehinggga tidak ada kepentingan akan pengharaman golput, bahkan sebagian menganggap majelis ulama indonesia mensyariatkan hukum yang baru yang tidak pernah Allah turunkan.
2. Orang – orang sekuler yang secara diametral bertentangan dengan otoritas keagamaan yang dimiliki MUI dalam memutuskan hukum, yang bagi mereka Tuhan tidak adapat dan jangan dilibatkan dalam urusan dunia”. dan orang–orang sekuler yang berkeinginan menjatuhkan martabat MUI di masyarakat, sehinggga fatwa-fatwanya tidak lagi didengarkan.
3. Orang-orang awam yang tidak memiliki ilmu, yang sejak awal memiliki asumsi buruk baik terhadap politik ataupun rokok, sehingga apatis terhadap fatwa MUI

Keberadaan fatwa sangat strategis bagi penyebaran dakwah islam, karena fatwa biasanya dikeluarkan oleh ulama-ulama yang memiliki kredibilitas unggul dalam ilmu-ilmu agama dan dalam pengamalannya, atau sebeagaimana fatwa-fatwa kontemporer yang dikeluarkan oleh sekelompok ulama yang terpercaya, seperti Laznah Daimah di Arab Saudi, Majlis Ulama Indonesia bahkan organisasi keagamaan memilii dewan fatwanya tersendiri, seperti Majelis Fatwa Dewan Dakwah, Bahtsul Masail di NU, Majelis Tarjih di Muhammadiyah, dan Dewan Hisbah di Persis.

B. Urgensi Fikih Realitas Dalam Pertimbangan Fatwa

Pengetahuan akan realitas akan memperkokoh fatwa yang dikeluarkan oleh ulama, karena kajiannya yang membahas situasi dan kondisi pada saat fatwa itu dikeluarkan.
Di dalam ”ilamul Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim, Al-Jauziyyah juga telah mengisyaratkan akan pentingnya ilmu fiqhul waqi’ bagi seorang mufti.
Dr. Nashir Sulaiman juga menjelaskan :

”seorang mufti (pembuat fatwa) wajib memperhatikan suatu masalah secara khusus, kemudian melihat esensi, kemudian melihat esensi fatwa tersebut yang dikaitkan dengan masalah-masalah kontemporer. Sering kita jumapi, sebagian ummat dari kalangan penuntut ilmu tidak mempercayai fatwa ulama’. Hal ini disebabkan , fatwa tersebut tidak didasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap fakta kontemporer (sehingga fatwa tersebut tidak aplikatif)”.
Beliau juga menjelaskan tentang pentingnya fatwa yang kokoh;
”Tidak diragukan lagi bahwa fatwa yang kokoh dan mendasar, akan memberikan pengaruh yang positif terhadap kehidupan ummat islam, baik pada masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang, fatwa yang kokoh dan mendasar, tidak akan terwujud, kecuali setelah terpenuhinya syarat-syarat (bagi keluarnya sebuah) fatwa sebagaimana yang telah ditentukan ulama’. Yaitu antara lain: sempurnanya persepsi terhadap suatu masalah kontemporer (yang akan dikenai fatwa).

C. Fikih Realitas Dan Ulama

Dengan pemahaman yang kokoh akan fiqhul waqi’ keberadaan fatwa akan kokoh, disamping itu fiqhul waqi’ sebagaiman dijelaskan Dr. Nashir Sulaiman, akan melindungi ulama dari dua arah, yaitu :
1. Dari orang-orang sekuler, mereka selalu berusaha merusak citra ulama dan ingin menjauhkan umat ini dari ulamanya, sehingga mereka berupaya semaksimal mungkin mengeluarkkan berbagai permasalahan ilmiah, yang seolah-olah bertentangan dengan pendapat dan fatwa ulama’ tujuan mereka adalah untuk menggugurkan fatwa atau sekurang-kurangnya ingin memunculkan anggapan bahwa kapasitas keilmuan ulama itu lemah, mereka berspekulasi untuk persekongkolan jahat mereka. Sehingga dengan memahami fiqhul waqi’ dapat mengungkap makar mereka dan terpelihara dari fitnah dan makar mereka.
2. Dari para penuntut Ilmu dan kaum muslimin, melalui fiqhul waqi’ ulama dapat mendasarkan fatwanya berdasarkan fakta, mengetahui semua permasalahan dari masalah cabang hingga pokoknya, fatwa yang berdiri kokoh dilandasan syar’i dan fakta adalah fatwa yang sempurna, yang tidak memberikan kesempatan dan celah bagi para pencela dan pembohong untuk mencemoohnya, dan fatwa seperti ini diterima baik oleh para penuntut ilmu dan masyarakat umum, sehingga akan memperat hubungan antara ulama dan para penuntut ilmu, serta menangnkal usaha orang-orang yang senang mengekploitasi kesalahan ulama’ untuk menjauhakan para pemuda dari ’ulama mereka. Dengan fiqhul waqi’ maka ulama dapat terjaga kewibawaanya dihadapan musuh maupun kaum muslimin, dan kepemimpinan mereka di hadapan umat islam tetap kokoh, termasuk kepemimpinan dalam ilmu.

D. Menghasilkan Fatwa Yang Sempurna

Telah jelas diatas akan pentingnya fiqhul waqi’ dalam meneguhkan kredibiltas fatwa, akan tetapi tentu tidak mungkin ada orang yang sempurna dalam memahami berbagai hal, maka hal yang diangkat oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani dam fiqhul waqi’-nya adalah perlunya kerjasama antara orang-orang yang memahami fiqhul waqi’ dan para ulama, dimana mereka mengutarakan konsep dan pemikiran mereka yang berkaitan dengan realitas sedangkan para ulama bertugas menjelaskan hukum Allah mengenai hal itu yang didasarkan pada dalil yang shohih dan hujjah yang kuat. Tapi beliau menambahkan bahwa jika sesorang yang memahami fiqhul waqi’ tampil ke hadapan pendengarnya dan berbicara mengenai fiqhul waqi’ tak dapat dinilai benar ketika pendapatnya bertentangan dengan fatwa ulama.

E. Menetukan Sikap Kita Terhadap Fatwa Ulama
Berdasarkan analisa sementara penulis berikut sikap yang seharusnya kita kedepankan setelah para ulama megeluarkan fatwanya, yaitu :
1. Jika kita setuju dengan fatwa mereka maka kita wajib mendukungnya, adapun jika tidak maka tidak dapat dibenarkan kita berbicara tentang ketidak setujuan kita apalagi di depan orang-orang awam, karena akan membantu orang-orang sekuler yang membenci ulama, yang akan membuat umat tidak lagi mempercayai ulamanya.
2. Jika fatwa mereka kita anggap keliru, maka kita harus mengingat kaedah ushul bahwa ijtihad seorang hakim akan berpahala satu karena ijtihadnya dan mendapat dua karena ijtihad dan benarnya. dan sebagaiamana Syekh Al-Albani menjelaskan bahwa kesalahan seorang Ulama tidak menjatuhkan pribadinya, karena memang manusia tidak ada yang sempurna.
3. Sebagai da’i yang tentu sering menjadi rujukan orang-orang awam bertanya maka hendaklah memberikan jawaban yang bijaksana kepadanya.
4. Sebagai dai’ yang juga menjadi rujukan orang-orang awam, maka diharapkan untuk berhati-hati dalam memberikan jawaban.
5. dan sebagai da’i yang masih dan akan terus belajar hendaklah kita berusaha sebaik mungkin mempersiapkan kapasitas keilmuan baik yan berkaitan dengan fiqhud dalil ataupun fiqhul waq’i.
6. Sebagai da’i dalam mengeluarkan fatwa, tentu terjadi berdasarkan atas asumsi kemaslahatan manusia yang berubah dari waktu kewaktu tentunya selain mengetahui fiqhud dalil ada beberpa hal yang harus diperhatikan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan waqi’ maka harus memperhatikan maslahat mursalah.
7. Diantara hal yang mesti diketahui dalam mengeluarkan fatwa diantara hal-hal yang utama diperhatikan, dan yang menjadi panduan bagi seorang memberikan fatwa adalah untuk memelihara hal-hal yang menjadi kebutuhan primer (dharuriyyat) yaitu ; Hifdhuul al-din (memlihara agama, memlihara jiwa (hifdhu al-nafs), memelihara akal (hifdhul aqli), memlihara kehormatan (Hifdhul ’aradh),memlihara harta (hifdhul maal).

Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar