Jumat, 06 Februari 2009

tafsir hamka

BUYA HAMKA: ANALISIS TERHADAP TAFSIR AL-AZHAR
Oleh: Muhamad Robiaal Mamonto


1. PENDAHULUAN
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang dikenal dengan HAMKA, tokoh tafsir Indonesia ini lebih populer dengan panggilan Buya Hamka. Banyak sumbangsih Buya Hamka untuk dunia Islam, terutama berupa tulisan-tulisan yang memperjelas makna-makna ajaran Islam yang tentunya akan lebih mempermudah kita umat islam yang ada di Indonesia untuk memahami nash-nash dari ajaran Islam itu sendiri.
Adapun tujuan saya menulis lembaran-lembaran makalah ini adalah untuk memperlihatkan ciri-ciri dari tafsir Buya Hamka, dengan cara menggali jawaban-jawaban dari rumusan pertanyaan berikut: Apakah judul karya tafsir Buya Hamka yang sudah sangat populer di kalangan umat Islam khususnya yang ada di Indonesia?, apakah metode tafsir yang dipakai oleh Buya Hamka?, keistimewaan apa sajakah yang ada di dalam tafsir tersebut?, serta bagaimana menyikapi tafsir Buya Hamka dengan menganalisa hasil yang kita dapat melalui data-data yang valid dan lengkap dari tafsir tersebut. Namun sebelum memasuki rumusan-rumusan pertanyaan tersebut, pada awal makalah ini saya akan coba mengangkat sosok Buya Hamka melalui profil singkat dari tokoh tafsir mashyur Indonesia ini.
Pada bagian penutup dari makalah saya ini, saya akan coba menarik sebuah kesimpulan dari keseluruhan isinya mengenai apa sajakah hal-hal yang penting yang bisa kita ambil sebagai materi yang bisa kita jadikan pegangan untuk lebih mendalami ilmu tafsir.

2. PROFIL BUYA HAMKA
2.1. Latar Kelahiran Buya Hamka
Buya Hamka adalah seorang Padang yang berasal dari Sungai Batang, Maninjau, propinsi Sumatera Barat, Indonesia. Dia lahir tepatnya pada tanggal 17 februari 1908 di kampung Molek. Buya Hamka adalah anak dari seorang Syeikh yang begitu terkenal di Minangkabau yang bernama Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Haji Rasul, wafat pada tanggal 2 juni 1945. Ayahnya adalah seorang yang mempelopori Gerakan Islam (Tajdid) di Minangkabau, setelah dia kembali dari Makkah pada tahun 1906. Ibunya bernama Shafiyah binti Bagindo Nan Batuah, wafat pada tahun 1934.
2.2. Latar Pendidikan Buya Hamka
Hamka kecil memulai pendidikannya di sebuah Sekolah Dasar kecil, yaitu SD Maninjau hingga dia duduk di kelas dua. Ketika usianya menginjak sepuluh tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Pajang. Di situlah Hamka yang hampir menginjak usia remaja mempelajari agama Islam dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah memperdalam ilmu Islamnya di Surau dan di majelis-majelis yang didirikan oleh ulama-ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto, dan Ki bagus Hadikusumo.
2.3. Aktifitas Buya Hamka di Berbagai Bidang dan Interaksinya dengan Dunia Dakwah
Buya Hamka memulai aktifitas kerjanya dengan menjadi seorang guru agama di perkebunan Tebing Tinggi pada saat usianya menginjak 29 tahun. Hamka kemudian meneruskan karirnya sebagai seorang pengajar di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah di Padang Panjang dari tahun 1957 sampai tahun 1958. Setelah itu dia dilantik sebagai seorang rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan juga menjabat sebagai guru besar di Universitas Mustopo Jakarta. Disamping itu beliau juga menjabat sebagai seorang pegawai tinggi agama yang dilantik oleh menteri agama Indonesia sejak tahun 1951 sampai dengan tahun 1960, tetapi dia meletakan jabatannya setelah Soekarno memberikan dua pilihan untuk tetap menjabat sebagai petinggi Negara atau melanjutkan aktifitas politiknya di Masyumi (Majelis Syura Muslim Indonesia). Hamka lebih banyak sendiri dan melakukan penyelidikan meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik baik yang ada didalam Islam ataupun barat. Dengan kemahirannya berbahasa asing (Arab dan Inggris), dia bisa menyelidiki karya ulama-ulama Islam dari timur tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal serta karya-karya para sarjana barat (Inggris, Perancis, dan Jerman) seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Buya Hamka juga rajin membaca karya tokoh-tokoh besar dari negeri sendiri serta sering bertukar pikiran dengan mereka, antara lain dengan HOS Cokroaminoto, R.M. Surjoparonoto, Haji Fakrudin, Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah talentanya sebagai seorang pidatoan ulung.
Hamka juga aktif dalam gerakan Ilsam melalui tubuh Muhammadiyah. Beliau masuk organisasi ini mulai tahun 1925, dengan tujuan untuk menentang khurafat, bid'ah, tarekat dan taswuf sesat yang berkembang di masyarakat Padang Panjang. Pada tahun 1928, Buya Hamka diangkat menjadi ketua organisasi Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun1929, dia mendirikan Pusat Latihan Dakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian, beliau menjadi penasehat Muhammadiyah di Makasar. Kemudian pada tahun 1946, beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat dalam konferensi Muhammadiyah untuk menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto. Setelah itu beliau menyusun kembali pembangunan di dalam tubuh Muhammadiyah melalui kongresnya yang ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Tiga tahun kemudian, Buya Hamka dipilih menjadi penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah. Dan pada 26 juli 1957, menteri agama Indonesia Mukti Ali melantik Buya Hamka sebagai ketua umum MUI (Majelis Ulama Indonesia), tetapi beliau kemudian mundur dari jabatan tersebut pada tahun 1981 karena nasehatnya diacuhkan oleh pemerintah Indonesia.
Selain aktif di bidang agama dan politik, Buya Hamka juga merupakan tokoh yang aktif di bidang media massa. Dia pernah menjadi wartawan di beberapa media seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Buya Hamka pernah menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Dan pada tahun 1932, dia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Selain itu, dia juga menjadi editor majalah-majalah seperti Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
2.4. Anugerah Kehormatan Buya Hamka
Dalam hal anugrah kehormatan, Buya Hamka pernah memperoleh beberap anugerah baik domestik maupun dari luar negeri. Penghargaan yang dia terima dari luar negeri adalah anugerah kehormatan Udztaziyah Fakhiriyah atau Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Kairo pada tahun 1959, dalam rangka penghormatan untuk perjuangannya terhadap siar Islam dan Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974, dalam rangka pengabdiannya mengembangkan kesusasteraan. Sedangkan penghargaan domestik yang dia dapatkan adalah gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno.

3. BUYA HAMKA DAN KARYA-KARYANYA

3.1. Sekilas Tentang Karya-karya Hamka
Sebagai seorang yang mumpuni pengetahuan mengenai agama, sejarah, budaya, sastra dan politik, Buya Hamka banyak menuangkan pengetahuannya tersebut kedalam karya-karya tulis. Beliau adalah seorang penulis yang begitu banyak menghasilkan karya, hasil-hasil karya tulisnya baik yang berhubungan dengan sastra dan agama semuanya berjumlah sekitar 79 karya, antara lain didalamnya Khatibul Ummah jilid 1-3 yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab, Laila Majnun, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tasawuf Modern, Islam dan Demokrasi, Ayahku, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, Mengembara di Lembah Nil, Di Tepi Sungai Dajlah, Islam dan Kebathinan, Ekspansi Ideologi, Falsafah Ideologi Islam, Urat Tunggang Pancasila, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan termasuk juga didalamnya karya Buya Hamka yang begitu mashyur, yakni karya Tafsir al-Qur'an 30 juz yang dia beri judul Tafsir al-Azhar.
3.2. Sekilas Tentang Tafsir Buya Hamka
Tafsir al-Azhar adalah satu karya dari Buya Hamka yang begitu besar dan sangat berarti dalam khazanah keilmuwan Islam, khususnya yang ada di Indonesia. Karya Buya Hamka ini mulai ditulis pada tahun 1962. Karya tafsir ini dari sisi tempat dan waktu penyelesaian pengerjaannya terbilang unik, sebab sebagian besar tafsir al-Azhar ini dapat diselesaikan oleh Buya Hamka selama kurun waktu dua tahun tujuh bulan. Kurun waktu tersebut adalah kurun waktu yang dijalani Buya Hamka sebagai seorang tahanan penjara. Dari sini kita bisa melihat kepiawaian menuangkan pengetahuan kedalam karya tulis seorang Buya Hamka tentunya. Bagaimana tidak, dalam keadaan tertekan pun dia masih mampu menciptakan sebuah karya yang mungkin untuk orang biasa dalam keadaan tersebut hidup terasa sangat sempit, jangankan berpikir untuk bernafas saja sulit. Namun bagi orang seperti Buya Hamka dengan pengetahuan dan kecerdasan kognitifnya hal tersebut bisa dilalui dengan mudah dan akhirnya menjadikan dia populer sebagai salah satu tokoh yang menciptakan sebuah karya tafsir al-Qur'an ketika sedang berada didalam penjara. Pengalamannya ini serupa dengan seorang tokoh tafsir yang termashyur juga yang bernama Sayyid Qutub.
Adapun Latar belakang penamaan tapsir al-Azhar yang ditulis oleh Prof. Hamka adalah bermula pada tahun 1960, Syaikh Mahmoud Syaotout dari al-Azhar datang berhalwat ke Indonesia sebagai tamu Agung Negaara, dan salah satu program kedatangan beliau di Indonesia adalah menziarahi Masjid Agung kebayoran Baru yang pada waktu itu Hamka diamanahi sebagai Imam tetap dan sekaligus orang yang memiliki peran dalam menjalankan aktipitas kegiatan masjid. Disana Syaikh Mahmoud Syaotout memberikan wejengan atau tausiah dan amanat serta memberikan nama baru untuk masjid kebayoran, adapun penggalan dari isi pidato yang dibawa oleh Syaikh Mahmoud Syaotout adalah" Mulai hari ini, saya sebagi syaikh (rektor) dari jami' al-Azhar memberikan bagi masjid ini (Masjid Agung kebayoran Baru) nama "al-Azhar", dan semoga masjid ini menjadi al-Azhar di Jakarta, sebagaimana adanya al-Azhar di Kairo (mesir).
Tafsir Al-Azhar pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Pembimbing Masa, pimpinan H. Mahmud. Pembimbing Masa dalam cetakan pertama menerbitkan juz pertama sampai juz keempat. Juz 15 sampai juz 30 diterbitkan oleh Pustaka Islam Surabaya. Dan juz 5 sampai juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta. Tafsir Al-Azhar juga diterbitkan di Singapura dan Kualalumpur Malaysia . Kini Tafsir Al-Azhar diterbitkan lengkap 30 juz oleh Penerbit Pustaka Panjimas Jakarta, sebanyak 15 jilid.
Mengenai tafsir al-Azhar ini, ada seorang tokoh peneliti tafsir bernama Ahmad Syafii Maarif (Buya Maarif) memberikan pujian terhadap karya dari Buya Hamka ini. Dia mengatakan bahwa dengan tafsirnya, Buya Hamka sebagai seorang mufasir menunjukan kerinduannya melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja yang mengaku beragama Islam atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Buya Ma'arif juga dengan perspektifnya berpendapat bahwa dengan tafsirnya, Buya Hamka menunjukan bahwa dia adalah seorang mufasir yang mendukung akan faham pluralisme agama. Menurut Buya Maarif, hal tersebut ditunjukan oleh Buya Hamka, pada tafsir surat al-Baqarah ayat 62 dan tafsir surat al-Maidah ayat 69. Namun keseluruhan pernyataan dari Buya Maarif ini dibantah oleh Akmal dalam artikelnya yang menyatakan bahwa perspektif dari Buya Maarif tersebut salah, pandangan tersebut sangatlah bertolak belakang dengan apa yang sebenarnya ingin diangkat oleh Buya Hamka dalam tafsir dari kedua ayat tersebut.

4. BUYA HAMKA DAN METODOLOGI TAFSIRNYA
Sumber penafsiran yang digunakan Buya Hamka dalam menafsirkan al-Quran adalah penafsiran ayat dengan ayat yang lain, juga ayat dengan Hadits ( al-tafsir bi al-ma'tsur ). Di samping itu, Buya Hamka juga menggunakan sejarah, antropologi dan sosiologi sebagai sumber penafsiran untuk memperkaya tafsirnya. Gaya dan kecenderungan penafsiran seperti itu, oleh para ahli tafsir, seperti al-Farmawi, disebut dengan tafsir al-adab al-ijtima'i . Gaya seperti itu dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam menyusun Tafsir Al-Mannar. Buya Hamka sendiri mengaku sedikit banyak mencontoh gaya Tafsir Al-Mannar, dimana tafsir itu selain menguraikan ilmu yang berkenaan dengan agama, mengenai hadits, fiqih, sejarah dan lain-lain, juga menyesuaikan ayat-ayat itu dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir itu dilakukan. (Hamka, 1982, juz 1: 41).
Memang terdapat kesamaan antara Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Mannar dalam proses kelahirannya. Bahwa keduanya lahir dari ceramah-ceramah di hadapan jama'ah yang kemudian disusun dalam bentuk tulisan. Oleh karenanya tafsir itu terkesan komunikatif dan dekat dengan suasana dan problematika yang sedang dihadapi masyarakat. Meskipun tentu saja berbeda setting tempatnya. Tafsir Al-Mannar lahir dari latar belakang masyarakat Mesir, sedangkan Tafsir Al-Azhar lahir dari latar belakang masyarakat Indonesia .
Dalam setiap bahasan, Buya Hamka memulai menafsiri al-Quran dengan mengelompokkan beberapa ayat yang menjadi bahan bahasan, lalu menterjemahkan ayat-ayat tersebut satu persatu, kemudian memberikan penjelasan secara menyeluruh dan terperinci. Buya tidak banyak menguraikan pengertian kata perkata dari ayat. Beliau lebih memberikan pengertian menyeluruh dari kelompok ayat yang menjadi topik bahasan. Beliau juga sangat ketat mengutip pendapat para mufassir terdahulu dalam menafsirkan ayat tertentu sebelum memberi uraian lebih jauh.Hal itu karena menurut beliau, penafsiran al-Quran tanpa melihat pendapat ahli tafsir terdahulu dianggap sebagai tindakan ceroboh dan ngawur.
Tafsir Al-Azhar menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh masyarakat dari segala lapisan. Hal itu dapat dipahami, karena tafsir itu disusun sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Bahkan uraiannya merupakan respon dari persoalan yang sedang mereka hadapi. Sebagai pujangga, Buya Hamka pandai menyusun kata-kata hingga menarik para pembacanya untuk tidak berhenti sampai uraian itu tuntas dibaca.

5. KEISTIMEWAAN TAFSIR BUYA HAMKA
Sebelum mengetahui apa sajakah yang menjadi keistimewaan dari tafsir Buya Hamka, terlebih dahulu marilah kita lihat contoh dari tafsirnya yang dikutip dari tafsir salah satu surat yang ada didalam juz 30, yakni surat al-Maa'uun ayat 1-7.
                               
Artinya:
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. Orang-orang yang berbuat riya
7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna

"Tahukah engkau," – hai Utusan Kami – "Siapakah orang yang mendustakan agama?" (ayat 1). Sebagai juga terdapat dalam ayat-ayat yang lain, bilamana Tuhan memulainya dengan pertanyaan, adalah berarti menyuruh kepada RasulNya agar ini diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Karena kalau hal ini tidak dijelaskan berupa pertanyaan seperti ini, akan disangka orang bahwa mendustakan agama ialah semata-mata karena menyatakan tidak mau percaya kepada Agama Islam.
Dan kalau orang sudah sembahyang, sudah puasa, dia tidak lagi mendustakan agama. Maka dengan ayat ini dijelaskanlah bahwa mendustakan agama yang hebat sekali ialah; "Itulah orang yang menolakkan anak yatim." (ayat 2). Di dalam ayat tertulis yadu'-'u (dengan tasydid), artinya yang asal ialah menolak. Yaitu menolakkannya dengan tangan bila dia mendekat. Dalam pernakaian bahasa Minangkabau menolakkan dengan tangan itu dikatakan manulakkan. Lain artinya daripada semata-mata menolak atau dalam langgam daerah manulak. Sebab kalau kita tidak suka kepada sesuatu yang ditawarkan orang kepada kita, bisa saja kita tolak baik secara halus atau secara kasar. Tetapi menolakkan, atau manulakkan berarti benar-benar badan orang itu yang ditolakkan. Ada orang yang ditolakkan masuk lobang sehingga jatuh ke dalam. Pemakaian kata Yadu'-'u yang kita artikan dengan menolakkan itu adalah membayangkan kebencian yang sangat. Rasa tidak senang rasa jijik dan tidak boleh mendekat. Kalau dia mencoba mendekat ditolakkan, biar dia jatuh tersungkur. Nampaklah maksud ayat bahwa orang yang membenci anak yatirn adalah orang yang mendustakan agama. Walaupun dia beribadat. Karena rasa benci, rasa sombong dan bakhil tidak boleh ada di dalam jiwa seorang yang mengaku beragama.
"Dan tidak mengajak atas memberi makan orang miskin." (ayat 3). Dalam bahasa Melayu yang terpakai di Malaysia disebut "menggalakkan". Dia tidak mau menggalakkan orang supaya memberi makan orang miskin. Dilahapnya sendiri saja, dengan tidak memikirkan orang miskin. Atau tidak dididiknya anak isterinya supaya menyediakan makanan bagi orang miskin itu jika mereka datang meminta bantuan makanan.Orang seperti ini pun termasuk yang mendustakan agama. Karena dia mengaku menyembah Tuhan, padahal hamba Tuhan tidak diberinya pertolongan dan tidak diperdulikannya.
Dengan ayat ini jelaslah bahwa kita sesama Muslim, terutama yang sekeluarga dan yang sejiran, ajak mengajak, galak menggalakkan supaya menolong anak yatim dan fakir miskin itu menjadi perasaan bersama, menjadi budi pekerti yang umum.
Az-Zamakhsyari menulis dalam tafsimya, tentang apa sebab orang-orang yang menolakkan anak yatim dan tidak mengajak memberi makan fakir miskin dikatakan mendustakan agama.
Kata beliau: "Orang ini nyata mendustakan agama. Karena dalam sikap dan laku perangainya dia mempertunjukkan bahwa dia tidak percaya inti agama yang sejati, yaitu bahwa orang yang menolong sesamanya yang lemah akan diberi pahala dan ganjaran mulia oleh Allah. Sebab itu dia tidak mau berbuat ma'ruf dan sampai hati menyakiti orang yang lemah.
Kalau dia percaya akan adanya pahala dari Tuhan dan yakin akan balasan Ilahi, tentu dia takut akan Tuhan dan takut akan siksaan dan azab Tuhan, dan tidaklah dia akan berani berbuat begitu kepada anak yatim dan si miskin. Kalau telah ditolakkannya anak yatim dan didiamkannya saja orang miskin minta makan, jelaslah bahwa agama itu didustakannya. Sebab itu maka kata-kata Tuhan di ayat ini sangatlah tajamnya dan orang itu telah didudukkan Tuhan pada satu tempat yang dimurkaiNya. Ini adalah satu peringatan yang keras untuk menjauhi perbuatan yang dipandang Tuhan sudah mendurhaka. Maka layaklah diambil kesimpulan bahwa orang berperangai begini lemah imannya dan keyakinannya amat kendor. "Maka kecelakaan akan didapati oleh orang-orang yang sembahyang." (ayat 4). "Yang mereka itu dari shalatnya, adalah lalai." (ayat 5) Dia telah melakukan sembahyang, tetapi sembahyang itu hanya membawa celakanya saja; karena tidak dikerjakannya dengan sungguh-sungguh. Tidak timbul dari kesadarannya, bahwa sebagai seorang Hamba Allah, sudah sewajamya dia memperhambakan diri kepada Allah dan mengerjakan sembahyang sebagaimana yang diperintahkan Allah dengan perantaraan NabiNya. Saahuun; asal arti katanya ialah lupa. Artinya dilupakannya apa maksud sembahyang itu, sehingga meskipun dia mengerjakan sembahyang, namun sembahyangnya itu tidaklah dari kesadaran akan maksud dan hikmatnya.
Pernah Nabi kita s.a.w. melihat seorang sahabatnya yang terlambat datang ke mesjid sehingga ketinggalan dari sembahyang berjamaah, lalu dia pun sembahyang sendiri. Setelah dia selesai sembahyang, Nabi s.a.w. menyuruhnya mengulang sembahyangnya kembali. Karena yang tadi itu dia belum sembahyang. Dia belum mengerjakannya dengan sesungguhnya.
"Orang-orang yang riya'." (ayat 6). Ini juga termasuk sifat-sifat orang yang demikian. Walaupun dia beramal, kadang-kadang dia bermuka manis kepada anak yatim. Kadang-kadang dia menganjurkan memberi makan fakir miskin, kadang-kadang kelihatan dia khusyu' sembahyang; tetapi semuanya itu dikerjakannya karena riya'. Yaitu karena ingin dilihat, dijadikan reklame. Karena ingin dipuji orang. Lantaran riya'nya itu, kalau kurang pujian orang dia pun mengundurkan diri atau merajuk. Hidupnya penuh dengan kebohongan dan kepalsuan;
"Dan menghalangi akan memberikan sebarang pertolongan. " (ayat 7). Artinya; Jalan untuk menolong orang yang susah, adalah amat banyak. Sejak dari yang berkecil-kecil sampai kepada yang besar, pokoknya asal ada perasaan yang halus, kasih-sayang kepada sesama manusia, di dalam pertumbuhan Iman kepada Tuhan. Tetapi orang-orang yang mendustakan agama selalu mengelakkan dari menolong. Selalu menahan, bahkan menghalang-halangi orang lain yang ada maksud menolong orang. Rasa cinta tidak ada dalam jiwa orang ini. Yang ada hanyalah benci! Hatinya terlalu terpaut kepada benda yang fana. Insaf dan adil tak ada dalam hatinya. Keutamaan tak ada bedanya, mukanya berkerut terus-terusan karena hatinya yang tertutup melihat orang lain. Dia menyangka begitulah hidup yang baik. Padahal itulah yang akan membawanya celaka.
Surat yang pendek ini, 7 ayat, diturunkan di Madinah, untuk menghardik orang-orang munafik yang ada pada masa itu, yang sorak-sorainya keras, padahal sakunya dijahitnya. Tetapi Surat ini telah menjadi cemeti terus-menerus bagi Ummat Muhammad. Sebab kian lama kian nampaklah orang yang seperti ini perangainya dalam pergaulan masyarakat Islam. Mereka mengakui Islam, tetapi dengan tidak disadari mereka telah menjadi orang munafik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Jarir dalam tafsimya:
"Begitulah orang-orang munafik, kalau di hadapan banyak orang banyak sembahyanglah dia serupa sangat khusyu', tetapi kalau orang tak ada lagi, sembahyang itu pun tidak dikerjakannya lagi. Tidak ada ingatan dalam hatinya buat menyambungkan budi dengan orang lain, yaitu memberikan pertolongan apa yang perlu bagi yang memerlukannya."
Setelah melihat contoh tafsir surat al-Maa'uun ayat 1-7 dalam kitab tafsir al-Azhar diatas. Ada hal menarik yang kita bisa lihat dalam tafsir dari Buya Hamka yang tentunya menjadi suatu keistemewaan bagi tafsirnya, yakni dia menggunakan pendekatan dengan bahasa pergaulan yang dipakai di beberapa tempat, antara lain bahasa pergaulan yang ada di minangkabau (manulakkan) dan juga bahasa pergaulan melayu di Malaysia (menggalakkan). Hal ini jarang dipakai oleh para tokoh tafsir yang ada di Indonesia.

6. ANALISA TERHADAP TAFSIR BUYA HAMKA
Seperti halnya dalam melihat keistimewaan yang ada di dalam tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, untuk mengambil sebuah analisa tentang hal-hal penting apa yang banyak muncul di dalam karya tafsirnya, maka sepatutnya kita melihat contoh tafsir dari dua surat berikut:
• Surat Quraisy ayat 1-4
 •                   
Artinya:
1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah Ini (Ka'bah).
4. Yang Telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Dalam tafsirnya Buya Hamka menjelasakan: Ada beberapa riwayat yang mengatakan bahwa di antara Surat al-Fiil (Surat 105) dengan Surat Quraisy (106) ini pada hakikatnya adalah satu. Mereka mengatakan bahwa kaum yang bergajah itu dibinasakan oleh Tuhan sampai hancur berantakan ialah karena Tuhan hendak melindungi kaum Quraisy, sebagai jiran Allah pemelihara Ka'bahNya. Atau mereka pertalikan ujung Surat 105 "Mereka dijadikan seperti daun kayu yang dimakan ulat," dengan ayat 1 dari Surat 106 "karena untuk melindungi kaum Quraisy." Tetapi menurut yang sewajarnya saja, tidaklah mungkin hanya untuk memelihara kaum Quraisy sampai Kaum Bergajah dihancurkan laksana daun kayu dimakan ulat. Mari kita tafsirkan saja sebagai biasa; "Lantaran untuk melindungi kaum Quraisy." (ayat 1). Yaitu: "Untuk melindungi mereka di dalam perjalanan musim dingin dan musim panas.'' (ayat 2). Kaum Quraisy pada umumnya adalah kaum saudagar perantara, yang negerinya (Makkah) terletak di tengah, di antara Utara yaitu Syam dan Selatan, yaitu Yaman. Sejak lama sebelum Islam mereka telah menghubungkan kedua negeri itu. Syam di Utara adalah pintu perniagaan yang akan melanjut sampai ke Laut Tengah dan ke negeri-negeri sebelah Barat. Yaman yang ibu kotanya sejak dahulu biasanya di Shan'aa di Selatan membuka pula jalan ke Timur sampai ke India, bahkan lebih jauh lagi sampai ke Tiongkok.
Ibnu Zaid mengatakan bahwa orang Quraisy itu melakukan dua angkatan perjalanan atau kafilah (caravan). Di musim panas mereka pergi ke Syam dan di musim dingin mereka pergi ke Yaman, keduanya untuk beniaga.
Sejak zaman purbakala telah terentang jalan kafilah di antara; Makkah, Madinah dan Damaskus. Atau; Makkah, Hunain, Badar, Ma'an (Syirqil Urdun). Itu adalah jalan kafilah Utara.Jalan Kafilah ke Selatan; Makkah, Thaif, `Asir, Yaman (Shan'aa). Perjalanan itu dipelihara dan diperlindungi oleh Tuhan. Dan lagi di negeri Makkah itu berdiri Bait Allah (Rumah Allah) yang bernama Ka'bah, sehingga setiap musim haji orang dari luar pun berduyun ke sana menurut sunnah Nabi Ibrahim.
"Maka hendaklah mereka menyembah kepada Tuhan Rumah (ayat 3). Sebab banyaklah anugerah dan kurnia Tuhan kepada mereka lantaran adanya rumah itu. Yaitu Tuhan; "Yang telah memberi makan mereka dari kelaparan dan mengamankan mereka dari ketakutan." (ayat 4). Karena ditambah lagi dengan berkat adanya Rumah Allah di tengah kota Makkah itu tidaklah putus-putusnya tiap tahun orang datang ke sana, di samping mereka sendiri mengadakan kafilah pemiagaan ke Utara dan ke Selatan. TidakIah pernah negeri mereka jadi daerah tertutup, sehingga selalulah makanan mereka terjamin, dan tidak ditimpa kelaparan. Disertai aman pula, sebab daerah Tanah Makkah itu dijadikan Daerah Terlarang sejak zaman Nabi Ibrahim; tidak boleh orang berperang di sana, tidak boleh binatang buruannya diburu, tidak boleh tumbuh-tumbuhannya dirusakkan. Aturan ini dihormati oleh seluruh kabilah Arab turun-temurun.
Sebab itu maka tidaklah layak orang Quraisy yang telah mendapat rahmat yang begitu baiknya dari Tuhan, kalau mereka tidak mensyukuri Tuhan. Tidaklah layak kalau mereka menolak risalat yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. Dan di dalam Surat ini pun telah diperingatkan, bukanlah RUMAH itu, bukanlah Ka'bah itu yang mesti disembah, melainkan Tuhan yang empunya rumah itulah yang akan disembah. Syukurilah Tuhan yang telah memperlindungi, membuat peraturan sehingga Tanah Makkah dapat aman dan sentosa, tidak disentuh dan diusik orang. Maka menjadi lemahlah tafsir yang mengatakan bahwa kaum bergajah dibinasakan karena Allah hendak memelihara orang Quraisy, melainkan orang Quraisy itu sendirilah di dalam Surat ini yang diberi peringatan agar mereka jangan menyembah juga kepada berhala, bahkan jangan menyembah kepada Ka'bah itu sendiri, tetapi sembahlah Tuhan Yang Empunya Ka'bah itu. Maka tidaklah patut mereka menjadi orang musyrikin, menyembah berhala, menggantungkan berhala pada rumah itu sampai 360 buah banyaknya. Melainkan seyogianya merekalah yang akan menjadi pelopor menyambut seruan dan risalat yang dibawa oleh Muhammad, putera mereka sendiri, untuk diikuti oleh seluruh bangsa Arab yang semenjak zaman dulu menghormati kedudukan mereka sebagai Jiran (tetangga) Rumah Allah itu.
Di dalam Surat al-Qashash (28); ayat 57 diperingatkan Tuhan kepada mereka bagaimana Tuhan menjadikan tanah Makkah itu jadi tempat tinggal tetap mereka, tanah suci tanah terlarang, dan segala macam makanan datang dibawa orang ke sana.
Di dalam Surat al-'Ankabut (29) ayat 67 diperingatkan pula, tidakkah mereka perhatikan bahwa tanah itu telah Kami jadikan Tanah Haram, tanah terlarang yang aman sentosa, padahal manusia di luar Tanah Haram itu culik-menculik, rampas-merampas, bunuh-membunuh.
Dari ayat 3 yang memberikan kesadaran bagi orang Quraisy agar mereka menyembah kepada Tuhan Yang Empunya Rumah ini dapatlah dimengerti bahwa Ummat Islam sekali-kali tidaklah menyembah kepada Rumah itu sendiri sebagai menyembah berhala, sebagaimana fitnah dan kata-kata palsu yang dikarang-karangkan oleh Zending-zending Kristen untuk menuduh orang Islam menyembah berhala bemama Ka'bah. Malahan sejak zaman purbakala, seketika permulaan Perang Salib, kaum Kristen telah membuat kata fitnah mengatakan bahwa orang Islam menyembah berhala yang ada disimpan dalam Ka'bah itu dua buah. Satu bernama Tarfagan dan satu lagi bernama Mahound. Maksud mereka ialah menimbulkan pengertian bahwa Mahound itu ialah Muhammad. Padahal dalam bahasa Jerman kalimat Hound pada Mahound itu ialah anjing.
Beginilah cara mereka melakukan propaganda! Di Salt Lake City, Ibu Negeri Utah negeri kaum Kristen Mormon saya ziarah ke pekarangan gereja mereka, yang diberi nama Tabernacle. Di halaman gereja itu ada patung burung. Burung itu adalah catatan kisah tatkala mereka mulai diusir dari sebelah Timur Amerika (New York) membuat negeri di sana. Mula-mula mereka menanam gandum untuk dimakan, dan hampir saja masa menuai, datanglah semacam belalang hendak memakan habis gandum yang hendak mereka ketam. Sehingga kalau jadi belalang itu hinggap, mereka akan mati kelaparan dan hasil usaha berbulan-bulan akan habis punah. Tiba-tiba sedang mereka menengadah ke udara melihat belalang atau kumbang-kumbang yang kejam itu, mereka lihat beratus ekor burung putih datang dari laut. Dalam sekejap mata burung-burung putih tersebut menyerang belalang atau kumbang itu dan memakannya habis sehingga kebun gandum penduduk Mormon itu terlepas dari bahaya berkat burung tersebut. Sebab itu maka di muka gereja itu mereka dirikanlah patung burung tersebut, untuk menambah keyakinan mereka dalam agama mereka.
Bagi kita Ummat Islam dengan tuntunan ayat 3 Surat Quraisy ini, bukanlah burung Ababil yang melepaskan Ka'bah dari penghancuran yang disembah, dan bukan pula Ka'bah itu sendirl, melainkan Tuhan Allah, Yang Maha Kuasa, Yang Empunya Rumah tersebut. Rumah pertama yang didirikan oleh Nabi Ibrahim Khalil Allah, untuk berkumpul manusia yang menegakkan kepercayaan atas Allah Yang Maha Esa, Maha Tunggal.

• Surat al-Baqarah ayat 62
•     •                   
Artinya:
" Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

Dalam Tafsirnya Hamka menjelaskan bahwa" Sesungguhnya orang yang beriman", yang dimaksud dengan orang yang beriman adalah oran yang memeluk Agama Islam, yang telah menyatakan percaya kepada nabi Muhammad Saw dan akan tetap istiqomah dalam menjalankan semua perintahnya sampai hari kiamat ;"Dan orang-orang yang menjadi Yahudi, Nasrani dan Shabi'in", yang ketiga golongan ini percaya juga kepada adanya Tuhan,tetapi dikenal dengan nama-nama demikian
Mengenai definisi Iman, Buya Hamka menggunkan definisi yang sama dengan jumhur Ulama, yaitu " Pengakuan hati yang terbukti dengan perbuatan yang diucapkan oleh lidah menjadi keyakinan hidup." Hal ini diungkapkan ketika menjelaskan penafsiran atas ayat ke tiga dalam surah al-Baqarah. Dan dilanjutkan dengan penjelasasnnnya tentang ayat ke 4 surat al-Baqarah, bahwa Iman itu niscaya baru sempurna jika percaya kepada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian orang yang pernah bertemu dengan risalah Nabi Muhammad Saw, namun tidak beriman kepada beliau, maka tidak layak dimasukkan dalam kategori orang-orang yang beriman.
Pada akhir surah al-Fatihah tentang "mereka yang dimurkai", ditegaskan bahwa ungkapan ini merujuk kepada mereka yang telah diberi petunjuk, telah diutus rasul-rasul kepadanya,telah diturunkan kitab-kitab wahyu kepadanya, namun ia tidak juga beriman.
Buya Hamka juga mengulas sebuah Hadits, mengenai orang-orangyang dijelaskan dalam bagain akhir surah al-Fatihah adalah "yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai oleh Allah adalah yahudi, dan yang dimaksud dengan orang yang sesat adalah Nasrani."

Dengan adanya 2 contoh tafsir diatas memang bisa kita pastikan bahwa dalam menafsirkan al-Qur'an, Buya Hamka tidak pernah lepas dengan penggunaan metode tafsir bi al-matsur dan tafsir bi ar-ro'yi yang menggunakan berbagai pendekatan-pendekatan umum, seperti bahasa, sejarah, interaksi sosio-cultur dalam masyarakat, bahkan dia juga memasukan unsur-unsur keadaan geografi suatu wilayah, serta memasukan unsur cerita masyarakat tertentu untuk mendukung maksud dari kajian tafsirnya.

Dan yang paling penting dalam tafsir Buya Hamka, dia memakai tekhnik perbandingan sebagai pendukung dengan cara memasukan penafsiran dari ulama tafsir yang lain, seperti yang bisa kita temukan pada penafsiran surat al-Ma'un, al-Lahab, dan beberapa surat lainnya.

Pada bagian akhir dari tafsirnya, Buya Hamka senantiasa memberikan kesimpulan berupa pesan nasehat yang tentunya ada harapan dari dia agar pembaca bisa mengambil ibrah-ibrah dari berbagai surat dalam al-Qur'an yang dia tafsirkan.


7. PENUTUP

Tafsir Buya Hamka yang berjudul Tafsir al-Azhar merupakan sebuah karya yang sangat monumental diantara banyak dari karya-karyanya. Metode, corak, dan pendekatan yang ada dalam tafsir ini merupakan perpaduan dari berbagai metode, corak, dan pendekatan tafsir yang ada dalam ulumul Qur'an. Tekhnik bahasa yang dia gunakan dalam mengembangkan tafsirnya begitu beragam dan merupakan corak bahasa yang biasa digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga relative mudah bagi kita untuk memahami maksud dari tafsirnya.

Buya Hamka adalah seorang tokoh Islam Indonesia yang begitu berjasa bagi perkembangan khazanah keilmuan yang ada di Indonesia khususnya untuk dunia Islam yang ada di Indonesia. Semoga karya-karyanya terus muda berjalan bersama waktu dan senantiasa memberikan kita banyak khazanah keilmuan.



*SEKIAN*



DAFTAR PUSTAKA

• Al-Khotob, Imam Taufik, Skripsi, Jakarta: 2006
• Dakwah, IV, 2, 2008
• Hamka:
-Tafsir al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2007
-Tasawuf Moderen, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000
• http://groups.yahoo.com/group/rezaervani
• http//id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Hamka2
• Noer Deliar, Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa, Jakarta: Mizan, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar