Rabu, 11 Februari 2009

PUASA NABI

PUASA NABI
BISMILLAHIR ROHMANIR ROHIEM
biqolam: Apriyanto
Segala puji hanyalah milik Allah. Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada nabi kita Muhammad, segenap keluarga dan para sahabatnya serta setiap orang yang mengikuti dan menolongnya.
Berikut ini adalah sebuah terjemahan mengenai tata cara puasa Nabi  dan apa saja yang terkait, seperti kewajiban-kewajiban, adab-adab, doa-doa, hukum puasa, pembagian manusia dalam pelaksanaan puasa, pembatal-pembatal puasa dan berbagai manfaat yang lain secara ringkas. Kami memohon kepada Allah agar berkenan memberikan taufiq kepada kaum muslimin demi mempraktekkan sunah Nabi mereka dalam segala amal. Karena hanya Allah tempat memohon taufiq.
Definisi puasa adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah dengan cara meninggalkan hal-hal yang membatalkannya mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.
Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang agung berdasarkan sabda Nabi : “Islam itu ditegakkan di atas lima perkara: Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah melainkan Allah semata dan bahwasanya Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah.” (Muttafaq ‘alaih)
PEMBAGIAN MANUSIA DALAM PUASA:
Puasa Ramadhan adalah wajib atas setiap muslim, yang telah baligh, berakal, mampu melakukannya dan tidak dalam keadaan musafir (sedang bepergian). Maka dari itu:
Orang kafir tidak wajib berpuasa. Dan jika masuk Islam dia tidak wajib meng-qadha puasa yang dia tinggalkan ketika kafir.
Anak yang belum dewasa tidak wajib mengerjakan puasa, tapi disuruh melakukannya agar dia terbiasa.
Orang yang sakit mendadak dan ada harapan sembuh, boleh berbuka jika merasa keberatan tapi wajib meng-qadhanya setelah sembuh.
Orang yang gila tidak wajib berpuasa dan tidak pula memberikan makanana sebagai gantinya walaupun dia telah lanjut usia. Demikian halnya seorang anak yang belum dewasa dan tidak mumayyiz (tidak bisa membedakan hal yang haq) juga orang tua yang telah pikun.
Orang yang tidak mampu melakukan puasa karena sesuatu yang terus menerus seperti usia lanjut dan sakit yang tiada harapan sembuh, maka mereka wajib mengeluarkan kepada seorang miskin bagi setiap hari yang dia tidak berpuasa.
Orang yang sedang hamil atau menyusui jika merasa berat dalam melakukan puasa dikarenakan mengandung atau menyusui atau hawatir terhadap bayinya, maka dia boleh tidak berpuasa dan nanti meng-qadhanya saat mudah baginya dan hilang rasa takutnya.
Orang yang amat terpaksa untuk tidak berpuasa demi menyelamatkan jiwa manusia misalnya, maka dia boleh tidak puasa untuk menyelamatkan mereka dan nanti meng-qadhanya di kemudian hari.
Orang yang musafir (bepergian) boleh berpuasa dan boleh juga tidak, tergantung kemauannya. Jika dia tidak berpuasa maka wajib meng-qadhanya baik kepergiannya mendadak seperti pergi umrah atau kepergian yang terus menerus seperti sopir jarak jauh. Mereka boleh tidak berpuasa selama mereka tidak berada di negaranya.
HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PUASA:
1- Niat. Pada puasa fardhu, wajib berniat pada malam hari sebelum terbit fajar. Hal itu berdasarkan hadits Nabi : “Siapa saja yang tidak mengumpulkan puasa (dengan niat) sebelum fajar maka tidak sah puasanya.” (HR. Abu Daud). Demikian pula beliau pernah bersabda: “Siapa saja yang tidak berniat pada malam hari maka tidak sah puasanya.” (HR. Nasa-i). Adapun tempat niat itu adalah dalam hati. Sedangkan melafazkannya , tidak ada dasarnya dari Nabi  dan para sahabat.
2- Waktu puasa. Allah berfirman: "Makan dan minumlah kalian hingga menjadi jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar." (QS. Al-Baqarah: 187). Sedangkan fajar itu ada dua yaitu: Fajar kadzib yakni fajar yang tidak boleh shalat Shubuh padanya dan tidak terlarang bagi orang yang berpuasa makan dan minum. Tanda fajar ini adalah adanya warna putih yang memanjang tampak menaik seperti ekor serigala. Sedangkan fajar shadiq ialah kebalikannya yaitu haram makan bagi orang yang berpuasa dan boleh dikerjakan shalat Shubuh padanya serta tandanya adalah warna merah memanjang tampak di puncak perbukitan dan pegunungan. Jika memang telah datang malam dari arah timur dan siang pergi dari arah barat serta terbenam matahari maka orang yang sedang berpuasa hendaknya berbuka. Nabi  bersabda: “Jika malam datang dari arah sana dan siang pergi dari arah sana serta matahari telah terbenam, maka sungguh boleh berbuka bagi orang yang berpuasa.” (Muttafaq ‘alaih). Perkara ini menjadi kenyataan setelah matahari terbenam walaupun cahayanya masih kelihatan.
3- Sahur; Nabi  bersabda: “Pembeda antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim). Beliau juga pernah mengatakan: “Keberkahan itu berada di tiga perkara; dalam jamaah, tsarid (nama makanan sejenis bubur) dan dalam sahur.” (HR. Thabrani). Adanya sahur merupakan keberkahan yang amat jelas, maka sebaiknya jangan ditinggalkan. Karena hal itu termasuk mengikuti sunah Nabi  dan menguatkan orang yang sedang berpuasa. Sahur adalah makanan yang penuh keberkahan sebagaimana yang diberitakan Nabi : “Kemarilah kalian untuk memakan makanan yang berkah.” (HR. Abu Daud). Juga: “Sahur adalah makanan yang diberkahi, maka janganlah kalian tinggalkan walaupun dengan meminum seteguk air. Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya selalu mendoakan orang-orang yang melakukan sahur.” (HR. Imam Ahmad). Juga: “Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah kurma.” (HR. Abu Daud). Termasuk petunjuk Nabi  adalah mengakhirkan sahur hingga dekat dengan Shubuh.
4- Hal-hal yang harus ditinggalkan oleh orang yang berpuasa; 1-berdusta, Nabi  bersabda: “Siapa saja yang tidak meninggalkan dusta dan perbuatan bohong maka Allah tidak memerlukan dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR.Bukhari). 2-Perbuatan sia-sia. Nabi  bersabda: “Puasa itu bukan saja dari makanan dan minuman. Tapi sesungguhnya puasa itu adalah (menahan diri) dari ucapan kotor dan berteriak-teriak. Jika ada yang menghinamu maka katakanlah: Sungguh saya sedang berpuasa.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
5- Hal-hal yang dibolehkan bagi orang yang berpuasa; 1-Tidak mengapa jika dia pagi-pagi dalam keadaan junub. Dari ‘Aisyah: “Bahwa Nabi  telah kedatangan Shubuh sedang beliau masih dalam keadaan junub sebab (menggauli) isterinya kemudian beliau mandi dan berpuasa.” (Muttafaq ‘alaih). 2- bersiwak; Nabi  bersabda: “Jika saja tidak memberatkan umatku niscaya kuperintahkan mereka dengan bersiwak pada setiap mereka berwudhu.” (Muttafaq ‘alaih). Pada hadits tersebut Nabi  tidak menghususkan siwak untuk orang yang sedang berpuasa atau tidak. Maka hal itu menunjukkan bahwa siwak itu boleh untuk orang yang sedang berpuasa dan yang lain pada setiap dia berwudhu secara umum dan dalam setiap waktu sebelum atau setelah zawal (tergelincir matahari). 3-Berkumur-kumur dan menghirup air lewat hidung; Nabi  pernah berkumur-kumur dan menghirup air dari hidungnya dalam keadaan berpuasa, hanya saja beliau melarang orang yang berpuasa terlalu dalam melakukan kedua hal tersebut. Nabi  bersabda: “Dan sempurnakan istinsyaq (menghirup air dari hidung) kecuali jika kamu dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud). 4-Menyentuh dan mencium isteri; Dari ‘Aisyah beliau berkata: “Adalah Nabi mencium dan menyentuh (isterinya) dalam keadaan berpuasa, tapi beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya.” (Muttafaq ‘alaih). Tapi hal ini, dimakruhkan bagi orang yang masih muda. Dalam hal ini Nabi  bersabda: “…sesungguhnya orang yang telah berumur tua dapat mengendalikan dirinya.” (HR. Imam Ahmad). 5-Cuci darah dan injeksi untuk pengobatan bukan untuk kekenyangan; hal ini tidak termasuk yang membatalkan puasa karena tidak bertujuan untuk mengenyangkan dan tidak sampai kepada perut. 6-Mencabut gigi tidak termasuk membatalkan puasa. 7-Mencicipi makanan jika memang tidak masuk tenggorokan. Demikian halnya dengan pasta gigi (odol). Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas: “Tidak mengapa bagi seseorang mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak memasuki tenggorokan sedangkan dia dalam keadaan berpuasa.” (HR. Bukhari). 8-Memakai celak (sifat mata) dan atau mengobati mata yang melalui mata. Semua ini tidak membatalkan puasa, baik ada rasa dalam tenggorokannya atau tidak. Imam Bukhari mengatakan dalam kitab “Shahih”nya: Anas, Al-Hasan Al-Bashri dan Ibrahim berpendapat tidak mengapa bagi orang yang berpuasa mengenakan sifat mata.”
6- Ifthar (berbuka);
*) Menyegerakan berbuka puasa adalah termasuk sunnah Nabi  yang merupakan bentuk menyelisihi kuam Yahudi dan Nasrani, karena mereka itu selalu mengakhirkannya hingga muncul bintang-bintang. Nabi  bersabda: “Manusia selalu dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan buka puasa.” (Muttafaq ‘alaih). Beliau juga bersabda: “Umamtku selalu dalam rel sunnahku selama mereka tidak mennggu bintang gemintang dalam berbuka puasanya.” (HR. Ibnu Hibban)
*) Berbuka puasa sebelum mengerjakan shalat Maghrib; dari Anas bin Malik beliau berkata: “Adalah Nabi  dulu berbuka sebelum mendirikan shalat Maghrib.” (HR. Abu Daud)
*) Dengan apa sebaiknya berbuka? Dari Anas bin Malik dia berkata: Dulu Nabi  selalu berbuka dengan kurma basah (ruthab) sebelum beliau shalat. Jika beliau tidak mendapati ruthab maka dengan kurma kering (tamer). Apabila beliau tidak mendapatinya maka beliau meminum beberapa teguk air.” (HR. Abu Daud)
*) Apa yang diucapkan saat berbuka? Saat berbuka Nabi  berdoa: “Dzahabazh zhama-u wab-tallatil ‘uruuqu wa-tsabatal ajru insya Allah = Telah hilang rasa dahaga, telah terbasahi urat-urat dan mendapatkan pahala insya Allah.” (HR. Abu Daud). Beliau juga pernah bersabda: “Orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak tertolak saat berbuka.” (HR. Ibnu Majah)
7- Pembatal-pembatal puasa;
*) Makan dan minum secara sengaja; baik itu hal yang bernanfaat atau yang membahayakan seperti rokok. Tapi jika hal itu terjadi dengan tanpa disengaja seperti lupa, keliru atau dipaksa orang maka hal itu tidak mengapa insya Allah. Nabi  bersabda: “Jika (orang yang berpuasa) lupa lalu makan dan minum maka hendaknya dia sempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (Muttafaq ‘alaih)
*) Muntah dengan sengaja; Nabi  bersabda: “Siapa saja yang terlanda muntah maka tidak wajib meng-qadha’. Siapa saja yang sengaja muntah maka hendaknya dia meng-qadha’.” (HR. Abu Daud). Maka dari itu, jika dia muntah secara tak sengaja maka tidak batal puasanya.
*) Bersetubuh. Apabila seseorang bersetubuh di siang bulan Ramadhan, maka wajib baginya menyempurnakan puasanya, meng-qadhanya, membayar kafarat berat yaitu memerdekakan budak tapi jika tidak menemukannya maka wajib baginya berpuasa dua bulan berturut-turut tapi jika tidak mampu maka wajib memberikan makan kepada 60 orang miskin.
*) Injeksi (suntik) dengan hal yang mengenyangkan, yaitu memasukkan sebagian zat pengenyang melalui darah atau usus dengan tujuan mengenyangkan seseorang yang sedang sakit (seperti infus). Hal semacam ini adalah membatalkan puasa karena termasuk kategori memasukkan sesuatu ke perut.
*) Haid atau nifas; yaitu keluar darah dari seorang wanita di siang bulan Ramadhan. Baik itu terjadi di permualaan atau penghujung siang, maka batal puasa wanita tersebut dan wajib meng-aqadhanya.
*) Onani (mengeluarkan mani) dalam keadaan sadar dan terjaga. Baik itu dengan tangan, bersentuhan, berciuman, berdekapan atau dengan cara lainnya. Adapun keluar mani sebab mimpi maka tidak membatalkan puasa karena tanpa unsur sukarela dari yang bersangkutan.
*) Menerima donor darah, seperti seseorang yang sedang berpuasa kehilangan banyak darah lalu disuntikkan darah ke tubuhnya sebagai ganti darah yang hilang.
8- Al-Qadha’ (Membayar puasa);
*) Dalam meng-qadha disunnahkan segera. Tidak harus berturut-turut dalam melakukan qadha’. Para ulama’ telah sepakat bahwa orang yang mati dan meninggalkan kewajiban shalat, tidak harus diqadha’. Demikian halnya orang yang tidak mampu melakukan puasa, maka tidak wajib diwakili jika dia masih hidup. Tapi sebagai gantinya memberikan makan kepada seorang miskin untuk setiap harinya. Tapi jika seseorang mati dan meninggalkan kewajiban puasa maka hendaknya diwakili walinya dalam : “meng-qadha’nya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Siapa saja yang mati dan memiliki tanggungan puasa, maka diwakili walinya dalam meng-qadha puasanya.” (Muttafaq ‘alaih)
9- Berpuasa sembari meninggalkan shalat;
Siapa saja yang berpuasa dan meninggalkan shalat maka sungguh dia telah meninggalkan sebuah rukun yang amat penting dalam Islam setelah ucapan tauhid. Puasanya tidak berguna baginya selama dia meninggalkan shalat, karena shalat itu adalah tiang agama sedangkan orang yang meninggalkan shalat dihukumi kafir padahal orang kafir tidak diterima amal ibadahnya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi : “Perjanjian di antara kita dengan mereka adalah shalat, maka dari itu siapa saja yang meninggalkannya maka sungguh telah kafir.” (HR. Imam Ahmad)
10- Qiyamul lail (shalat tarawih);
Sungguh Nabi  telah mencontohkannya dengan berjamaah kemudian beliau tinggalkan karena takut nanti diwajibkan atas umatnya yang akhirnya mereka tidak akan mampu melaksanakan kewajiban ini. Sedangkan jumlah rakaatnya adalah 8 rakaat tanpa witir sebagaimana hadits ‘Aisyah yang meriwayatkan: “Nabi  tidak menambah –dalam shalat malamnya- di bulan Ramadhan atau yang lain lebih dari 11 rakaat.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
*) Ketika Umar menghidupkan sunah ini, maka beliau kumpulkan manusia dalam seorang imam dengan 11 rakaat –menurut riwayat yang paling shahih-. Ada juga kaum muslimin pada masa beliau yang melakukannya dengan 23 raka'at. Setelah itu bahkan ada yang melakukannya dengan 39 raka'at. Sedangkan melakukan shalat tarawih dengan 23 raka'at seperti yang dilaksanakan di Masjidil Haram dan masjid Nabawi adalah pendapat tiga orang imam dan yang lain.
*) Sebagian cobaan yang telah menimpa kaum muslimin sekarang ini adalah mempercepat dalam bacaan, ruku’, sujud dan yang lain. Hal ini aib dalam shalat, menghilangkan kekhusyu’an dan bisa jadi membatalkan shalat. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar