Rabu, 11 Februari 2009

NISBAH (RELEVANSI) FILSAFAT, ILMU DAN AGAMA

Oleh; Apriyanto
Pendahuluan
Ada asumsi di masyarakat, belajar filsafat itu menyesatkan. Belajar filsafat itu meruksak Aqidah. Karenanya, tidak sedikit orang yang alergi mendengar filsafat. Di pihak lain, ada juga yang mengharuskan, untuk tidak menyebut mewajibkan, belajar filsafat.
Kedua asumsi di atas sah-sah saja jika didasari dengan argumentasi yang kuat. Khusus bagi umat Islam, semua disiplin ilmu, termasuk filsafat, haruslah berasas pada tauhid. Sebab, Tauhidlah yang nantinya akan menentukan selamat atau tidaknya, sesat atau tidaknya seseorang. Karenanya, sebelum belajar filsafat seorang muslim harus belajar, menguasai dan memahami tauhid.
Belajar filsafat memerlukan keseriusan dan kesungguhan. Selain itu, seperti ilmu-ilmu lainnya, sebuah pengantar menuju hal itu (belajar filsafat) sangatlah diperlukan agar nantinya tidak mengalami kebingungan. Kalaupun kita masih tetap bingung, minimal dengan belajar pengantarnya terlebih dahulu, akan dapat memberikan gambaran kepada kita, apa itu filsafat, bagaimana metodeloginya, objeknya dan lain sebagainya.
Dalam makalah ini, kami sedikit akan membahas tentanng filsafat disertai dengan nisbah (relevansi) antara filsafat itu sendiri dengan ilmu dan agama. Mengapa demikian? Sebab, sebagaimana disebutkan Endang Saefudin Anshari, filsafat, ilmu dan agama adalah institut kebenaran. Artinya, kebenaran itu bisa didapatkan dari ketiga hal tadi. Apakah filsafat bisa bergandengan dengan ilmu dan agama? Atau malah sebaliknya, di antara ketiga institut kebenaran tadi terdapat pertentangan yang signifikan?

Filsafat; Pengertian, Metodologi dan Objek Kajiannya
Ada dua pendapat yang berbeda ketika mendefiniskan filsafat secara etimologi. Pertama; filsafat itu asal katanya dari bahasa Arab. Yang berpendapat seperti ini di antaranya Harun Nasution. Menurutnya, kata filsafat itu berasal dari bahasa Arab. Falsafah, dengan timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian, menurut Harun Nasution, kata benda dari falsafah seharusnya falsafah dan filsaf. Masih menurutnya, dalam bahasa Indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan berasal dari bahasa Arab, falsafah dan bukan dari kata philosopy. Harun Nasution mempertanyakan, apakah kata fil berasal dari bahasa Inggris dan safah dari kata Arab, sehingga terjadilah gabungan antara keduanya, yang kemudian menimbulkan kata filsafat.
Harun Nasution, tampaknya ingin konsisten dengan pendapatnya, bahwa isitlah filsafat yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab. Oleh karena itu, dia menggunakan kata falsafat, bukan filsafat. Buku-bukunya yang membahas tentang filsafat ditulisnya dengan memakai istilah falsafah, seperti falsafat Agama dan falsafat dan mistisme dalam Islam.
Pemaparan Harun Nasution di atas, dikritik oleh Dr. Amsal Bakhtiar. Menurutnya, kendati istilah filsafat yang lebih tepat adalah falsafat yang berasal dari bahasa Arab, kata filsafat bisa diterima dalam bahasa Indonesia. Sebab, sebagian kata Arab yang di-Indonesiakan mengalami perubahan dalam huruf vokalnya, seperti masjid, menjadi mesjid, dan karamah menjadi keramat. Karena itu, lanjut Bakhtiar, perubahan huruf a menjadi i dalam kata falsafat bisa diterorir.
Kedua; bahwa filsafat itu berasal dari Yunani yang diarabkan. Dengan mengutip Poedjawijanta, Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa kata filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya adalah philosophia yang merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan sophia; philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu; sophia artinya kebijakan, yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Dengan demikian, filsafat berarti keinginan yang mendalam (cinta) untuk mendapat kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak. Orang yang mempunyai karakter seperti itu disebut filosof. Seorang yang berkeinginan mendalam untuk mendapat kebijakan, secara bahasa bisa disebut filosof. Namun permasalahannya jelas tidak sesederhana itu. Sebatas mana orang bisa disebut filosof? Apakah bijak atau kebijaksanaan (sophia) itu? Tukang kayu saja menurut Homerus bisa juga disebut orang bijak (filosof).
Karena itu, pengertian secara etimologi tidak akan memberikan pengertian yang tepat untuk mendefinisikan filsafat itu apa. Masalah di atas akan sedikit teratasi kalau kita melihat pengertian filsafat secara terminologi. Akan tetapi kita juga harus tahu, pengertian filsafat secara terminologi, dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda, dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri.
Menurut Plato, filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli. Sedangkan menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Sementara menurut al-Farabi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat [kebenaran] bagaimana alam maujud yang sebenarnya. Rene Descartes mendifinisikan filsafat sebagai kumpulan semua pengetahuan Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Abu Bakar Atjeh juga mendefiniskan filsafat seperti Descartes. Pythagoras, orang yang mula-mula menggunakan kata filsafat, mengartikan filsafat sebagai proses perenungan tentang Tuhan. Bertrand Russell menyebut filsafat sebagai sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains, di dalamnya berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan defenitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan. Masih menurutnya, filsafat adalah wilayah tak bertuan. Dan masih banyak pengertian filsafat yang diutarakan para filosof. Perbedaan definisi filsafat tersebut menurut Abu Bakar Atjeh, sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir, disebabkan oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka. Namun, meskipun demikian, dari beberapa ungkpan para filosof di atas, dapat diambil benang emas bahwa filsafat itu titik tekannya adalah kebenaran. Dari analisis di atas, kami mempunyai hipotesa bahwa sophia (bijak/kebijaksanaan) dalam filsafat maskudnya adalah kebenaran (lihat definisi Plato, Aristoteles, al-Farabi). Dengan demikian, akan jelasnya bagi kita siapa filosof itu? Filosof itu adalah orang yang berkeinginan untuk mendalami, mencari dan memahami kebenaran.
Mungkin kita merasa bingung dan kurang puas, atau kurang memahami, apa filsafat itu? Para filosof saja sudah berbeda-beda, apalagi kita! Mungkin itulah yang ada di benak kita sekarang. Dalam hal ini, kita jangan menyerah. Kita nampaknya harus mendengar kata-kata Moh. Hatta dan Langeveld. Menurut Hatta, pengertian filsafat sebaiknya jangan dipersoalkan dahulu, nanti juga akan hilang.
Layaknya ilmu lainnya, filsafat juga mempunyai metodologi. Menurut Ahmad Tafsir, metode filsafat itu adalah rasional. Apa dan bagaimana rasional itu? Menurut Kant, Rasional ialah sesuatu pemikiran yang masuk akal tetapi menggunakan ukuran hukum alam. Jadi metode filsafat itu adalah berfikir rasional dengan mengikuti hukum alam.
Berfikir rasional yang dimaksud di atas tentunya bukan berfikir sembarangan. Ada tiga ciri seseorang itu bisa dikatakan berfikir filsafat (rasional).
a. radikal; berasal dari Radix, bahasa Yunani, berarti akar. Berfikir radikal, berfikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai kepada konsekuensinya yang terakhir. Berfikir itu tidak separu-paru, tidak berhenti di jalan, tapi terus sampai ke ujungnya. Tidak ada yang tabu, tidak ada yang suci, tidak ada yang terlarang bagi berfikir yang radikal itu.
b. Sistematis; berfikir sistematis adalah berfikir logis, yang bergerak selangkah-demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling hubungan yang teratur.
c. Universal; yang umum; berfikir universal tidak berfikir yang khusus, terbatas pada bagian-bagian tertentu, tapi mencakup seluruhnya. Yang universal ialah yang mengenai keseluruhan.
Itulah metode filsafat. Selain mempunyai metode, filsafat juga mempunyai objek. Menurut Dr. Amsal Bakhtiar, filsafat memiliki dua objek; material dan formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada di sini mencakup “ada yang tampak” dan “ada yang tidak tampak”. “Ada yang tampak” adalah dunia empiris, sedangkan “ada yang tidak tampak” adalah alam metafisika. Masih menurut Bakhtiar, sebagian filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu; yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikatnya.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar