Kamis, 12 Februari 2009

Analisis Tafsir fi Zhilalil Qur'an

Oleh:Enjang Tirta
1. Pendahuluan
Sesungguhnya segala puji hanya kepunyaan Allah semata. Kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan-Nya, kita ampunan kepada-Nya, kita berlindung di bawah naungan-Nya dari keburukan diri kita dan keburukan amal kita. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan pengikutnya hingga hari akhir.
Al-Qur'an merupakan sumber utama dalam islam yang merupakan pegangan hidup setiap muslim. Dengan memahaminya tentu akan faham tentang islam. Namun disayangkan banyak sekali umat islam yang tidak faham kandungan Al-Qur'an, bahka sampai ada umat Islam yang tidak bisa membacanya.
Telah banyak ulama yang menulis tentang tafsir Al-Qur'an agar kaum mislimin faham kandungan Al-Qur'an yang agung ini, salah satunya adalah tafsir Fi Dzilalil Qur'an yang ditulis oleh sayyid Quthb.
Penulis merasa tertarik untuk meneliti tafsir fi dzilalil Qur'an ini karena kitab tafsir ini menjadi pembicaraan khalayak ramai, baik yang memuji atau yang menghujat. Terlebih sang penulis tafsir ini adalah seorang tokoh harokah islam yang besar.
Dalam penulisan tulisan ini penulis mencoba meneliti metode penafsiran apa yang digunakan oleh Sayyid Quthb dan keistimewaan-keistimewaan tafsir fi dzilalil Qur'an dibanding kitab tafsir lainnya.

2. Profil sayyid kutub

2.1 Pendidikan
Nama lengkap beliau adalah Sayyid Quthb bin Ibrahim Husain. Belaiu lahir di Muasyah, propinsi Asyuth, di daratan tinggi Mesir, pada tanggal 9 Oktober 1906. Pendidikan awal beliau adalah Madrasah Ibtidaiyah di desanya pada tahun 1912 dan lulus tahun 1918. Revolusi tahun 1919 di negerinya membuat Sayyid Quthb berhenti dari sekolah selama dua tahun. Terakhir sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Sejak kecil kakak kandung dari pemikir Muhammad Quthb ini telah dikenalkan dan dibesarkan dalam lingkungan Islami. Sebagaiman tradisi kaum Muslimin, sejak kecil Sayyid Quthb dididik secara ketat oleh kedua orang tuanya. Hasilnya cukup bisa dibanggakan. Belum genap usia sepuluh tahun, Quthb telah hapal al-Qur’an. Kemampuannya tersebut sesuai dengan harapan ibunya. Dalam buku hariannya, Taswir al-Fanni Fi al-Qur’an, beliau menyatakan, “Harapan terbesar ibu adalah agar Allah berkenan membuka hatiku, hingga aku bisa menghafal al-Qur’an dan membacanya di hadapan ibu dengan baik. Sekarang aku telah hafal, dengan begitu aku telah menunaikan sebagian harapan ibu.” Pada tahun 1929, ia menempuh kuliah di Dar al-Ulum dan memperoleh gelar Sarjana Muda Pendidikan pada tahun 1933.
Pernah mendapat pendidikan di barat selama beberapa tahun dan beberapa tempat yang lain, termasuk di Colorado State College of Education (sekarang dikenali sebagai University of Northern Colorado).
2.2 Aktifitas
Ia dikenal sebagai kritikus sastra, novelis, penyair, pemikir Islam, aktivis muslim Mesir paling terkenal pada abad 20, tokoh Ikhwan al-Muslimin dan ideolognya. Tubuhnya kecil, berkulit hitam dan berbicara lembut. Ia sangat sensitif, serius dan mengutamakan pokok persoalan. Kerumitan yang dihadapi menjadi faktor yang membuatnya lebih peka terhadap apa yang dialaminya. Ia mempunyai bakat-bakat intuitif. Sayyid Qutb adalah penulis kontemporer yang terus terang. ramah dengan masyarakat di seputarnya serta mempunyai pengalaman langsung atas apa yang dipandangnya sebagai sumber kerusakan selama dua tahun tinggal di Amerika Serikat.
lalu bekerja sebagai pengawas sekolah pada Departemen Pendidikan. mengundurkan diri dari jabatan pemerintah pada tahun 1953. Selain itu, karena pemerintah tidak menerima saran-saran perbaikan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang diusulkan.
Sayyid Quthb banyak dipengaruhi pemikiran Abbas Mahmud Al-Aqqad yang cenderung pada pendekatan Barat. Ia sangat berminat pada sastra Inggris. Dilahapnya segala yang dapat diperolehnya dalam bentuk terjemahan. Sayyid Quthb memulai karirnya sebagai seorang pengarang dan jurnalis. Pada tahun1940-an Sayyid Quthb mulai menulis sejumlah buku tentang penafsiran al-Qur'an. Ia mengalami perubahan antara lain disebabkan oleh kebijaksanaan perang Inggris selama Perang Dunia II dan dibentuknya negara Israel yang dianggapnya sebagai suatu penolakan hak bangsa-bangsa Arab untuk menentukan nasib sendiri, dan suatu penolakan persamaan hak antara mereka dengan manusia Barat.
2.3 Interaksi dengan dakwah
Pada 1949 Sayyid Quthb mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat selama dua tahun. Ia menyaksikan dukungan luas pers Amerika untuk Israel. Ini menimbulkan kepahitan pada Sayyid Quthb. Pengalaman di Amerika Serikat meluaskan wawasan pemikirannya mengenai problema-problema sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham materialisme yang gersang dari ruh keTuhanan. Ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan manusia dari paham materialisme, sehingga terlepas dari cengkeraman materi yang tak pernah terpuaskan.Sayyid Quthb kembali ke Mesir saat berkembang krisis politik yang menyebabkan kudeta militer pada Juli 1952. Qutb menjadi sangat anti-AS dan anti Barat. Ia menjadi salah seorang pendukung pemberontakan Nasser, tetapi berbalik menentangnya ketika Nasser mulai menyiksa orang-orang Ikhwan. Secara terbuka dan jujur ia menyerukan perlunya perubahan radikal dalam kehidupan Islam. Intisari pemikirannya tercermin dalam bukunya Ma'alim fi al-Thariq yang menjadi sumpah setia sejumlah organisasi Islam militan.
Sayyid Quthb bergabung dengan gerakan Islam Ikhwan al-Muslimin pada tahun 1953. Ia menjadi juru bicara utama Ikhwan Mesir setelah pembubaran jamaah mereka pada 1954. Ia berjuang untuk mewujudkan upaya transformasi Islam dari agama yang hanya mengejar cita-cita transenden murni menjadi suatu kekuatan operatif yang bekerja secara aktif untuk memecahkan masalah-masalah modern. Kecintaan Sayyid Quthb pada dunia tulis menulis mendorongnya mengundurkan diri dari jabatan pemerintah pada tahun 1953. Selain itu, karena pemerintah tidak menerima saran-saran perbaikan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang diusulkan.
Sayyid Quthb mulai menulis beberapa topik tentang Islam. Dalam buku-bukunya ia mengusulkan Islam sebagai suatu alternatif di antara sistem-sistem yang tengah memperebutkan Mesir. Sayyid Qut}b banyak dipengaruhi tulisan Abul Hasan Ali al-Nadawi, Abdul Qadir Audah dan Abul 'Ala al-Maududi. Sayyid Quthb juga mengakui bahwa ia telah meminjam definisi jahiliyah Abul 'Ala al-Maududi. Jahiliyah bukanlah sebutan bagi suatu masa, melainkan keadaan yang berulang setiap kali masyarakat membelok dari jalan Islam, apakah di masa lalu, dewasa ini, atau masa depan.
Selama 1951-1952 Sayyid Quthb terlibat dalam polemik melawan kebijakan-kebijakan kepemilikan yang berlaku, sistem monopoli dan kapitalis melalui tulisan, pidato maupun pertemuan-pertemuan. Sayyid Qut}b menulis dua buah buku dan ratusan artikel yang dimuat pada koran-koran dan majalah, tanpa bergabung dengan sebuah partai atau kelompok tertentu, sampai terjadinya revolusi 23 Juli 1952. Ia tenggelam dalam perjuangan bersama tokoh-tokoh revolusi 23 Juli, sampai dengan Februari 1953, ketika pemikirannya berbeda dengan tokoh-tokoh lain mengenai lembaga atau organisasi pembebasan dan cara pembentukannya dan masalah-masalah lain yang terjadi pada saat itu.
Pada Juli 1954 Sayyid Qut}b diangkat menjadi pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Tetapi baru dua bulan harian tersebut ditutup karena mengecam perjanjian Mesir-Inggris 7 Juli 1954. Sayyid Quthb mencatat bahwa saat itu di Mesir tersebar dekadensi moral dan berbagai ide yang bertentangan dengan ajaran agama akibat dihancurkannya gerakan Ikhwan al-Muslimin. Ia menilai peristiwa itu erat hubungannya dengan rencana Zionisme dan salibisme imperialisme dalam menghancurkan nilai-nilai di kawasan ini.
Pada Mei 1955 Sayyid Quthb ditahan setelah organisasi itu dituduh berkomplot untuk menjatuhkan pemerintah. Pada 13 Juli 1955 Pengadilan Rakyat menghukumnya 15 tahun kerja keras. Selama periode penahanan ini Sayyid Quthb menulis beberapa buku yang membuatnya masyhur. Pada tahun 1964 ia dibebaskan atas permintaan Presiden Irak Abdul Salam Arif yang mengadakan kunjungan ke Mesir. Setahun kemudian ia ditangkap bersama kira-kira 20 ribu orang. Nasser menguatkan tuduhan bahwa Sayyid Qut}b berkomplot untuk membunuhnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 911 Tahun 1966, Presiden berhak menahan tanpa proses, siapa pun yang dianggap berusaha mengambil alih kekuasaan.
Sayyid Quthb diadili oleh Pengadilan Militer mulai 12 April 1966. Pada 21 Agustus 1966 dinyatakan bersalah dan dihukum mati di tiang gantungan pada 29 Agustus 1966. Sejak itu ia dikenal sebagai syahid bagi kebangkitan Islam.
2.4. Pemikiran-pemikiran yang istimewa
Gagasan dan pemikiran sayyid Quthb terlihat jelas dari karya-karyanya. Karyanya itu pula mencerminkan keteguhan dan kecerdasan Quthb dalam memperjuangkan dan mempertahakan prinsip. Oleh karena itulah, oleh sebagian kalangan dia dikategorikan sebagai pemikir beraliran keras/radikal. Seperti garis yang ditetapkan organisasi yang dia anut sebelumnya, yakni ikhwanul muslimin. Dan kebanyakan tokohnya yang semisal hasan Al-Banna, Quthb juga berpandangan bahwa tak ada jalan lain umat islam keluar dari keterbelakangan dan ketertinggalan kecuali kembali dan menerapkan secara tegas prinsip-prinsip Al-Qur'an dalam kehidupan sosialnya.
Gebyar kehidupan barat yang sarat dengan paham hedonesma da materielisme dipandangnya sebagai ancaman kehidupan moral manusia. Inilah yang menyebabkan Quthb berkesimpulan dan mengategorikan masyarakat dunia saat ini sebagai masyarakat jahil (bodoh) modern.
Sayyid Quthb memandang, cerminan masyarakat jahil itu jelas terlihat dari penghambaan manusia terhadap materi dan disisi lainnya mengesampingkan tuhan.
Bagi Quthb islam adalah deklarasi pembebasan menusia dari penyembahan terhadap sesama makhluk di muka bumi dan penyembahan yang ada hanyalah untuk Allah.
2.4 Pandangan tokoh lain padanya
Sayyid Quthb merupakan tokoh yang istimewa, banyak tokoh yang mengaguminya namun tak sedikit tokoh yang menghujatnya. Disini penulis cantumkan beberapa pandangan tokoh terhadap sayyid Quthb. Diantaranya:
Imam Abdul ‘Aziz bin Baz berkata:
Sayyid Quthb (semoga Alloh mengampuninya) berkata di dalam Fi Zhilalil Qur’an (menafsirkan) firman Alloh Ta’ala :
العرش استوى على الرحمن
“Ar-Rahman (Alloh yang Maha Pemurah) yang beristiwa` di atas Arsy.” (Thoha : 5)
Beliau berkata : “Adapun istiwa` di atas Arsy dapat kita katakan bahwasanya istiwa` ini merupakan kinayah (kiasan) dari al-Haimanah (penguasaan) atas makhluk (ciptaan)-Nya ini.” [Azh-Zhilal (4/2328), (6/3408) cet. Ke-12, 1406, Darul ‘Ilmi].

Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu berkata, “Ini semua adalah ucapan yang fasid (rusak), (ia mengatakan) hal ini (istiwa`) maknanya adalah penguasaan, dan ia tidak menetapkan istiwa`. Ini artinya ia mengingkari istiwa` yang telah ma’ruf (diketahui maknanya), yaitu al-‘Uluw (ketinggian) di atas Arsy. Pendapatnya ini batil menunjukkan bahwa dirinya adalah miskin (lemah) dan dhoyi’ (kosong ilmu) terhadap tafsir.”

- Syeikh al-Muhaddis Muhammad Nashiruddin al-Albani berfatwa: “Sayyid Qutub tidak mengetahui tentang Islam, baik secara ushulnya (ilmu-ilmu dasarnya) atau ilmu-ilmu furu’. Maka saya berterima kasih kepada al-akh (Syeikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali) kerana menunaikan kewajipannya dengan menjelaskan dan menyingkap kejahilan dan penyimpangan (akidah Sayyid Qutub) dari Islam”.
- Syeikh al-Muhaddis Muhammad Nashiruddin al-Albani berfatwa berkenaan pembedahan bahaya pemikiran Sayyid Qutub oleh Sheikh Rabi’:
“Semua yang telah diperkatakan tentang Sayyid Qutub (oleh Syeikh Rabi’ di dalam kitabnya) adalah benar dan hak. Dan hal ini membuktikan kepada seluruh pembaca bahawa tidak terdapat pada diri Sayyid Qutub pengetahuan tentang Islam sama ada usul ataupun furu’nya”.

- Sheikh Muhammad bin Soleh al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya berkenaan Sayyid Qutub, beliau menjawab:
“Pengamatan saya terhadap buku-buku Sayyid Qutub adalah sangat sedikit sekali dan saya tidak mengetahui keadaan orang tersebut, akan tetapi para ulama telah menulis tentangnya yang bersangkutan dengan karangannya dalam Tafsir “Fi Dzilalil Qur’an”, mereka menulis tanggapan-tanggapan atasnya, seperti yang ditulis oleh Sheikh Abdullah ad-Duwaisy rahimahullah, dan saudara kita Sheikh Rabi’ al-Madkhali juga menulis tanggapan-tanggapan atasnya, atas Sayyid Qutub dalam Tafsirnya ataupun dalam buku lainnya, maka barangsiapa yang suka untuk menelaahnya maka baik untuk ditelaah.”

– Sheikh Soleh bin Fauzan al-Fauzan.
Sheikh al-Allamah Soleh al-Fauzan ditanya berkenaan buku “Fi Dzilalil Qur’an”.
Beliau berkata, “Masalah membaca buku azh Zhilal masih diperdebatkan kerana azh-Zhilal mengandungi perkara-perkara yang masih perlu diperdebatkan, dan bahawasanya kita membuat para pemuda tergantung dengan buku tersebut dan agar mereka mengambil pemikiran yang padanya terdapat perkara yang perlu diperdebatkan, dan ini kemungkinan memiliki akibat yang buruk terhadap pemikiran para pemuda. Ada tafsir Ibnu Katsir dan tafsir-tafsir ulama salaf lainnya yang banyak sekali jumlahnya yang sudah lebih dari cukup daripada tafsir seperti (fi zhilalil Qur’an) ini.
Pada hakikatnya kitab tersebut bukanlah kitab tafsir namun hanya sebuah buku yang membahas erti secara umum dari setiap surah atau al-Qur’an secara umum. Maka buku itu bukanlah tafsir dengan makna yang difahami oleh para ulama terdahulu dari masa yang lalu iaitu bahawasanya tafsir adalah penjelasan akan makna al-Qur’an dengan riwayat-riwayat yang ada, dan penjelasan tentang segala apa yang tersembunyi di baliknya sama ada dari segi bahasanya mahupun keindahannya, dan segala yang terkandung di dalamnya dari hukum-hukum syari’at. Dan sebelum itu semua, penjelasan yang dimaksud Allah s.w.t. dari ayat-ayat dan surah-surah yang ada.
Sedangkan buku fi zhilalil Qur’an adalah sebuah buku tafsiran yang umum yang mungkin kita dapat menamakannya dengan buku tafsir yang bersifat tematik yaitu di antara tafsiran yang bersifat tematik yang kita kenal zaman sekarang ini, akan tetapi tafsir tersebut tidak dapat dijadikan sandaran kerana bercampur dengan pelbagai perkara sufiyah dan rangkaian-rangkaian kata yang tidak sewajarnya dalam kitabullah seperti mensifati al-Qur’an dengan muzik dan nada-nada dan juga penulisnya tidak prihatin terhadap tauhid ibadah, sedang hal yang sangat mengambil perhatiannya adalah tauhid rububiyah, dan bila ia sebutkan berkenaan tauhid uluhiyah maka ia memusatkan pada tauhid hakimiyah (perundangan), dan al-hakimiyah tidak diragukan merupakan sebahagian dari tauhid uluhiyah akan tetapi ia bukanlah satu-satunya tauhid uluhiyah yang diinginkan (dan ia mentakwilkan sifat-sifat Allah s.w.t. dengan cara orang-orang yang sesat).
-Syeikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah Alu syaikh berkata," kitab tafsir Fi zhilalil Qur'an adalah kitab yang bermanfaat. Penulisnya menuliskannya agar Al-Qur'an ini dijadikan sebagai undang-undang kehidupan. Kitab ini bukanlah tafsir dalam arti harfiyah, tetapi penulisnya banyak menampilkan ayat-ayat Al-Qur'an yang dibutuhkan oleh seorang muslim dalam hidupnya…disana ada orang yng mengkritik sebagian istilah yang terdapat dalam kitab ini. Namun sesungguhnya hal-hal yang dianggap kesalahan ini dikarenakan indahnya perkataan sayyid Quthb dan tingginya bahasa yang beliau pergunakan diatas gaya bahasa pembaca. Inilah sebetulnya yang tidak difahami oleh sebagian orang yang mengkritiknya. Kalau saja mereka mau menyelaminya lebih dalam dan mengulangi bacaannya, sungguh akan jelas bagi mereka kesalahan mereka, dan kebenaran sayyid Quthb.
-Adapun syaikh manna' khalil Al-Qaththan rahimahullah berkata," sayyid Quthb telah menjumpai Tuhannya dalam keadaan syahid demi membela aqidahnya dengan meninggalkan warisan pemikirannya. Dan yang paling terdepan adalah kitab tafsirnya yang berjudul fi zhilalil Qur'an. Ini adalh kitab tafsir yang sempurna bagi kehidupan dibawah naungan Al-Qur'an dan petunjuk islam. Penulisnya hidup dibawah naungan al-Qur'an sebagaimana yang difahami dari judulnya, beliau menukmati keindahan al-Qur'an, dan mengungkapkannya dengan segala perasaannya; ungkapan yang jujur…kitab ini terdiri dari delapan jilid dan telah dicetak berkali-kali dalam beberapa tahun, dikarenakan ia mendapatkan sambuta yang hangat dari para ilmuwan.

3. Sayyid kutub dan karyanya
Karya-karya Sayyid Quthb tersebar luas di seluruh dunia Islam dan pikiran-pikirannya telah menjadi definisi Islam yang diterima serta membentuk aspek-aspek sosial, politik, ekonomi, intelektual, kultural dan etika. Sayyid Quthb mempunyai pandangan yang mendekati holistik mengenai masalah negara Islam. Sejak pelaksanaan hukuman matinya pada 1966, tulisan-tulisan Sayyid Qut}bnya mengilhami banyak gerakan pembaharuan di seluruh dunia Islam. Pengalaman hidup matinya merupakan suatu gambaran sempurna tentang salah satu proses yang dilalui oleh seorang tokoh revolusioner, dari terpukau pada Barat sampai pada kesadaran bahwa pola-pola asing tak mampu memberikan pengertian tentang identitas dan tujuan moral yang dikehendaki Islam. Sayyid Quthb kembali kepada Islam dan yakin bahwa hanya Islam saja yang dapat memberi ideologi dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim.
Sayyid Quthb menulis lebih dari 20 buah buku, di samping tafsir al-Qur'an dan artikel-artikel untuk majalah yang membahas soal-soal yang diperdebatkan oleh kalangan cendekiawan Mesir ketika itu. Karya-karya Sayyid Qutb yang telah dipublikasikan dan sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Muhimmatusy Sya’ir Fil Hayah wa Syi’r al-Jalil al-Hadhir, terbit tahun 1933
2. Asy-Syathi’al Majhul, kumpulan sajak Sayyid Quthb satu-satunya, terbti bulan Februari 1935
3. Naqad Kitab “Mustaqbal ats-Tsaqafah Fi Mishr” li ad-Duktur Thaha Husain, terbit tahun 1939
4. At-Tashwir al-Fanni Fil Qur’an, buku keislaman Sayyid yang pertama, terbit bulan April 1945
5. Al-Athyaf al-Arba’ah, ditulis bersama saudara-saudaranya: Aminah, Muhammad, dan Hamidah, terbit tahun 1945
6. Thifl Min al-Qaryah, berisi gambaran desaya serta catatan masa kecilnya di desa, terbit tahun 1946
7. Al-Madinah al-Manshurah, sebuah kisah khayalan semisal kisah seribusatu malam, terbti tahun 1946
8. Kutub wa Syahsyiyat, sebuah studi Sayyid terhadap karya-karya pengarang lain, terbit tahun 1946
9. Asywak, terbit tahun 1947
10. Masyahid al-Qiyamah Fil Qur’an, bagian kedua dari serial Pustaka Baru al-Qur’an, terbit pada bulan April 1947
11. Raudhatut Thfil, ditulis bersama Aminah as-Sa’id dan Yusuf Murad, terbit dua episode.
12. Al-Qashash ad-Diniy, ditulis bersama Abdul Hamid Jaudah as-Sahhar.
13. Al-Jadid Fil Lughah al-‘Arabiyah, bersama penulis lain.
14. Al-Jadid al-Mahfuzhat, ditulis bersama penulis lain.
15. Al-Adalah al-Ijtima’iyah Fil Islam, buku pertama Sayyid dalam hal pemikiran Islam, terbit pada bulan April 1949
16. Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’samaliyah, terbit bulan Februari 1951
17. As-Salam al-Islami wa al-Islam, terbit bulan Oktober 1951
18. Fi Zhilalil Qur’an, cetakan pertama juz pertama, terbit bulan Oktober 1952.
19. Dirasat Islamiyah, kumpulan berbagai macam artikel yang dihimpun oleh Muhibbullah al-Kahthib, terbit tahun 1953.
20. Khashaish at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwimatuhu, buku beliau yang paling mendalam yang beliau khususkan untuk membicarakan tentang karakteristik akidah dan unsur-unsur dasarnya.

3.1 fi zhilalil Qur'an
Sayyid Quthb sudah biasa membaca al-Qur'an sejak kecil. Pada waktu itu pikirannya belum sanggup menjangkau intisari al-Qur'an yang begitu dalam dan belum mengerti maksud dan tujuannya yang mulia. Ia hanya ingat, bahwa dari sela-sela ayat-ayat al-Qur'an bermunculan gambaran bermacam-macam dalam khayalnya. Gambaran itu cukup mengasyikkan jiwanya dan meniumbulkan perasaan nikmat dalam hati. Ia merasa gembira dan rajin membaca al-Qur'an. Ia pun belajar dengan giat karena dorongan gambaran-gambaran itu. Misalnya, gambaran yang muncul di alam khayalnya, setiap ia membaca ayat: Ada di antara manusia yang menyembah Allah hanya di tepi, jika mengalami kebaikan, merasa puas dan jika mengalami cobaan berbalik muka, ia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.

Artinya: " Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.(al-Hajj:11)

Demikian juga suatu gambaran selalu terbayang di alam khayalnya setiap ia membaca ayat:

Artinya:”Dan ceritakanlah kepada mereka kisah orang yang sudah menerima ayat-ayat Kami, tetapi mereka tinggalkan. Lalu setan yang mengikutinya, maka dia pun termasuk orang yang sesat. Sekiranya Kami menghendaki niscaya dengan ayatayat itu Kami angkat dia, tetapi dia cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah. Perumpamaan orang ini seperti anjing, jika kau menghalaunya ia menjulurkan lidah, dan jika kau biarkan ia juga menjulurkan lidah. Itulah perumpamaan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah ini supaya mereka berpikir." (Q.S. al-A'raf:175-176)
Sayyid Quthb belum mengerti isi ayat ini dan juga tidak mengerti apa tujuannya. Tetapi tergambar dalam alam khayalnya seorang laki-laki. Mulutnya terbuka lebar menganga dan lidahnya terjulur. Ia terus menerus mengulurkan lidahnya, sedang Quthb tegak di hadapannya tanpa memalingkan pandangan darinya. Tetapi ia tidak mengerti mengapa ia mengulurkan lidahnya. Dan ia tidak berani mendekatinya. Sayyid Quthb memandang keindahan al-Qur'an sebagai salah satu pesona al-Qur'an yang menjadikan pemuka musyrik Makkah terpukau dan terpaku olehnya. Itu pulalah yang menjadikan orang-orang masuk Islam pada periode awal, bukan karena di dalam al-Qur'an ada perundang-undangan yang sempurna dan bukan pula karena di sana ada berita tentang hal-hal gaib yang kemudian menjadi kenyataan setelah berlalu beberapa tahun.
Banyak gambaran yang terlukis di alam khayalnya dan ia merasa nikmat mengingat-ingatnya. Ia ingin membaca al-Qur'an lagi untuk memperhatikan dan menikmati gambaran-gambaran seperti itu. Masa kecil Sayyid Quthb berlalu dengan kenang-kenangan yang manis. Lalu datanglah masa berikutnya. Ia pun masuk ke sekolah agama lalu mempelajari dan membaca buku-buku tafsir. Ia juga mendengarkan pelajaran tafsir dari guru-gurunya, tetapi dalam tafsir-tafsir yang dibaca dan didengar itu, ia tidak menemukan lagi al-Qur'an yang indah, yang bisa ia nikmati di masa kecil. Betapa sedihnya.
Semua ciri-ciri keindahan yang ada di dalam al-Qur'an hilang dan tak ada lagi kenikmatan dan kegairahan mempelajari al-Qur'an. Sayyid Qutb pun bertanya, Bagaimana pendapat Anda, apakah memang ada dua al-Qur'an? Al-Qur'an anak-anak yang segar, mudah dan merangsang, dan al-Qur'an anak muda yang sukar dan berbelit-belit? Ataukah ada suatu kesalahan dalam metode pengajaran tafsir? Ia kembali mengambil al-Qur'an. Ia baca mushaf, bukan dalam buku-buku tafsir lagi. Nah, ia temukan kembali al-Qur'an-nya yang indah. Ia temukan lagi gambaran-gambaran yang mengasyikkan. Tetapi sudah tidak sederhana seperti dulu. Pengertiannya sudah berubah. Ia mulai mengerti tujuannya. Semua itu hanyalah perumpamaan yang dikemukakan, bukan peristiwa yang benar-benar terjadi. Daya tariknya masih tetap ada dan rangsangannya juga masih terasa. Ia merasa menemukan kembali al-Qur'an. Tergeraklah hatinya untuk menghidangkan kepada masyarakat sebagian dari gambaran-gambaran yang ia temukan dalam al-Qur'an.
Ia pun menulis suatu pembahasan dalam majalah Al-Muqtathaf tahun 1939 berjudul al-Taswir al-Fanni fi al-Qur'an (Penggambaran Artistik dalam Al-Quran). Ia pilih beberapa gambaran lalu ia terangkan segi-segi keindahannya. Ia terangkan kekuasaan Allah SWT yang telah menggambarkan dengan kata-kata yang sederhana itu, gambaran-gambaran yang tak dapat dilukis oleh para pelukis, dengan kuas dan cat berwarna-warni, ataupun dengan sorotan kamera, dengan lensanya yang tajam. Akhirnya ia menyimpulkan, bahwa pembahasan ini pantas untuk dijadikan judul tesis di Perguruan Tinggi. Gambaran-gambaran yang ada dalam al-Qur'an itu selalu terbayang. Setiap kali gambaran-gambaran itu diingat kembali, bertambah kuat hasratnya untuk menangani pembahasan ini dengan menyempurnakan dan memperluasnya. Untuk itu ia menekuni al-Qur'an beberapa tahun lamanya. Ia asyik memperhatikan gambaran-gambaran yang sangat indah. Pikiran untuk membahasnya secara mendalam semakin kuat, sehingga ia merasa tak ada lagi tugas yang lebih penting dari itu. Akhirnya ia berhasil menyelesaikan kajiannya selama lima tahun.
Sayyid Quthb memulai pembahasannya dengan literatur utama Mushhaf al-Qur'an. Ia mengumpulkan gambaran-gambaran indah yang ditemukan dalam al-Qur'an lalu menerangkan bagaimana cara melukiskan gambaran-gambaran itu dalam al-Qur'an, bagaimana hubungan keselarasan yang indah dalam gubahannya. Seluruh perhatian tertuju pada segi keindahannya yang murni tanpa turut campur tangan dalam pembahasan-pembahasan yang banyak dalam al-Qur'an.
Suatu penemuan baru menjelma di hadapannya. Gambaran-gambaran dalam al-Qur'an itu bukanlah bagian yang berlainan dengan bagian-bagian yang lain-lain. Metode penggambaran itulah yang diterapkan dalam Kitab Suci yang indah ini. Itulah metode dasar yang diikuti dalam menjelaskan segala tujuannya, kecuali ketika menerangkan masalah syari'ah. Dengan demikian pembahasannya bukan merupakan suatu bentuk pengumpulan dan penyusunan semata. Lebih dari itu, ia harus membahas juga cara al-Qur'an membukakan dan menampakkan suatu tujuan. Penemuan itu semata-mata taufik. Semula tidak direncanakan sama sekali. Tetapi tiba-tiba saja ia menemukannya. Di atas landasan itulah pembahasan buku ini berlangsung. Segala apa yang ada padanya hanyalah merupakan penerapan dari metode ini. Ia hanya berusaha membukakan keistimewaan yang mendasar ini dalam menerangkan apa yang ada dalam al-Qur'an. Sayyid Quthb bersaksi dalam jiwanya tentang lahirnya al-Qur'an dalam bentuk yang baru.
Keindahannya tidak terpotong-potong dan tidak terpisah-pisah lagi. Ia merasakan al-Qur'an itu merupakan suatu kesatuan yang seluruhnya tegak di atas suatu metode khusus, berisi hubungan berantai yang indah dan mengagumkan yang belum pernah dikhayalkan sejak dulu. Ia bahkan menduga, bahwa tak seorang pun pernah menggambarkannya. Jika buku ini berhasil mengetengahkan gambaran-gambaran al-Qur'an sebagaimana yang ia lihat dalam jiwanya, maka itu adalah suatu kesuksesan. Dan jika ia dapat menampakkannya kepada masyarakat, sama seperti apa yang pernah ia alami dalam hati sanubarinya, itu adalah puncak kesuksesan dalam penulisan buku ini.
Di antara pengambaran-penggambaran al-Qur'an yang diungkap Sayyid Qut}b dalam bukunya adalah sebagai berikut.
Pertama, gambaran amal perbuatan orang kafir yang tidak diterima oleh Allah SWT dan bahwa mereka tidak akan masuk surga. Tentang hal itu al-Qur'an menggambarkannya:

Artinya”Kepada mereka yang mendustakan ayat-ayat Kami dan bersikap sombong terhadapnya, pintu-pintu langit takkan dibukakan, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta dapat masuk lubang jarum. Itulah balasan untuk penjahat." (QS. al-A'raf:40)
Ayat itu membiarkan pembaca menggambarkan di dalam khayalnya pintu-pintu langit yang terbuka dan bagaimana seekor unta masuk ke dalam lubang jarum yang kecil. Hal itu memberikan pengertian mendalam dalam hati akan kemustahilannya.
Kedua, gambaran sesembahan orang kafir yang tidak dapat mendengar dan menjawab, karena memang tidak dapat mengerti dan berkata. Bahwa doa para penyembah berhala itu sia-sia, tidak ada manfaatnya sama sekali. Hal itu digambarkan al-Qur'an demikian:

Artinya”Perumpamaan mereka yang tak beriman seperti orang meneriaki apa yang tak pernah mendengar kecuali dengan teriakan dan jeritan: mereka tuli, bisu dan buta, mereka tidak mempunyai pengertian (Q.S. al-Baqarah:171).”
Ketiga, menggambarkan kelemahan sesembahan atau pelindung-pelindung selain Allah. Betapa lemahnya pelindung-pelindung itu ketika mereka diminta melindungi, seperti rapuhnya sarang laba-laba.


Artinya:”Perumpamaan mereka yang mengambil pelindung selain Allah, seperti laba-laba yang membuat rumah, tapi sungguh rumah yang paling rapuh ialah rumah laba-laba, kalau mereka tahu (Q.S. Al-Ankabut:41).”
Demikian sebagian dari gambaran-gambaran dalam al-Qur'an yang direkam Sayyid Quthb dari pengalamannya berinteraksi dengan al-Qur'an yang memberikan kesan sangat mendalam. Melalui buku tersebut Sayyid Quthb hendak berbagi pengalaman artistik pada saat membaca al-Qur'an dengan para pembaca.
4. sayyid kutub dan metodologi tafsirnya
Sayyid Quthb memilki suatu metode yang unik dalam tafsir yang belum pernah ditempuh oleh seorang mufassir yang ada, baik dari kalangan terdahulu maupun sekarang. Sayyid tidak pernah menyibukkan diri dengan menelaah kitab-kitab tafsir terdahulu yang berisi berbagai perbedaan pendapat dan adu argumentsi dalam berbgai macam tema keislaman. Sayyid tidak mengambil informasi-informasi pemikiran darinya, tidak mau masuk ke alam al-Qur’an berdasarkan ketentuan-ketentuan pemikiran sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh selainnya.
Sesungguhnya metode beliau merupakan buah semangat dari semangatnya untuk memasuki alam al-Qur’an tanpa berbagai ketentuan pemikiran sebelumnya, dan juga dari keyakinannya mengenai kekayaan al-Qur’an serta banyaknya makna inspirasinya. Metode beliau berdiri di atas dua tahap.
Tahap pertama, beliau hanya mengambil dari al-Qur’an saja, sama sekali tidak ada peran bagi rujukan, referensi, dan sumber-sumber lain. Ini adalah tahap dasar, utama dan langsung.
Tahap kedua, sifatnya sekunder serta penyempurnaan bagi tahap pertama, yang digunakan oleh Sayyid untuk melengkapi kekurangan yang ada pada tahap pertama, atau meluruskan kekeliruannya. Tahapan ini bersandar kepada sumber dan referensi secara mendasar. Sebab ia berdiri di atas perhatian terahadap kitab-kitab tafsir untukmengetahui bukti dengan hadits atau riwayat yang shahih tentang penafsiran ayat.
Ketika kita berbicara mengenai sumber-sumber Zhilal, kita juga harus menyertakan kondisi khusus yang dialami oleh Sayyid Quthb ketika menulis Zhilal. Beliau menulisnya di penjara, sedangkan menulis dipenjara harus tunduk kepada syarat-syarat khusus yang diwajibkan oleh administrasi penjara yang berkaitan dengan masuknya buku-buku ke dalam penjara. Suasana penjara juga mempunyai pengaruh terhadap penulisan Zhilal. Maka semangat Sayyid di dalam penjara untuk membekali diri dengan referensi-referensi yang menjadi sandaran merupakan bukti bahwa Sayyid memenuhi syarat metodologi dalam melakukan studi dan menulis.

4.1 Methodologi bil ma’sur dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Kebanyakan orang melihat Sayyid Quthb sebelah mata, mereka beranggapan bahwasanya tafisr Fi Zhilialil Qur’an itu kosong dari metode tafsir bil ma’sur. Tentu saja nggapan ini tidak benar, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, Sayyid Quthb tidak lepas dari metode penafsiran yang paling utama, yaitu metodologi bil ma’sur. Di sini sedikit dipaparkan metode bil ma’sur di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
Allah SWT berfirman:

Artinya:“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)
Dalam menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb mengedepankan riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata,
هذا في الرجل يكون عليه مال, وليس عليه فيه بينة, فيخد المال, ويخاصم إلى الحكّام, وهو يعرف أنّ الحقّ عليه, وهو يعلم أنّ اثراكل الحرام.

“Ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang berkewajiban membayar harta tetapi tidak ada bukti yang mendukungnya, lalu ia mengingkari harta tersebut dan mengadukannya kepada hakim, padahal ia tahu bahwa dirinya bersalah dan memakan harta haram.”

Sayyid Quthb juga menambahkan riwayat dari Mujahid, Said bin Jabir, Ikrimah, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, ‘Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam, mereka berkata,

لا تخاصم وأنت تعلم أنّك ظالم.
“Janganlah kamu berperkara padahal kamu mengetahui bahwasanya dirimu bersalah.”

Di tambah lagi dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah,
Rasulullah SAW bersabda,

إنّما انا بشر, وإنّما يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون ألحن بحجة من بعض فأقضي له, فمن قضيت له بحقّ مسلم فإنّما هى قطعة من النار. فليحملها أو ليذرها.
“Sesunggahnya aku hanya manusia biasa, kemudian diajukan kepadaku suatu perkara kepadaku. Bisa jadi sebagian di antara kamu lebih pintar menyampaikan argumentasi dari sebagian yang lain sehingga aku memutuskan perkara untuknya. Barang siapa yang aku putuskan perkara untuknya dengan mengambil hak seorang Muslim maka sesungguhnya hal itu hanyalah sepotong api neraka. Silahkan ia membawanya atau meninggalkannya.”

Allah SWT berfirman,

Artinya:“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)
Dalam menafsirkan ayat ini, Sayyid mengemukakan tiga riwayat yang ma’tsur yang disebutkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dengan isnadnya sendiri, yang menggambarkan kekhawatiran para sahabat mengenai kandungan ayat ini serta sikap mereka yang berusaha menjauhi segala bentuk kezaliman. Hal ini membuat mereka bergegas menemui Rasulullah SAW, kemudian beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah syirik.
Contoh yang lainnya dalam manafsirkan ayat
... ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين
“..tetapi janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”(Al-baqarah:190)
Tindakan melampaui batas bisa saja terjadi denga memerangi orang-orang yang tidak memerangi atau orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan misalnya para pendududuk sipil yang ingin hidup damai dan ingin selamat dari peperangan yang terjadi. Tindakan melampaui batas jelas dapat melanggar adab-adab dalam peperangan.
Dalam hal ini sayyid qutb menukil sebuah hadits
“dari Ibnu Umar Ra ia berkata: “ditemukan seorang wanita terbunuh pada sebagian peperangan Rasulullah Saw, kemudian Rasulullah melarang membunuh wanita dan anak-anak.” (diriwayatkan oleh Malik, Bikhari, Muslim dan abu Dawud)
Kemudian beliau mengutip hadits lain
“dari Abi Hurairah Ra. Rasulullah Saw bersabda: “apabila salah seorang diantara kamu membunuh dalam peperangan maka hendaklah ia menjauhi wajah.” (diriwayatkan Bukhari dan Muslim)
Kemudian beliau memberikan komentar,
Itulah perang yang dilakukan Islam. Itulah adab-adabnya. Itulah tujuan-tujuannya. Semua itu bersumber dari pengarahan Al-Qur’an yang mulia:

Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah melampaui batas, karena sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
4.2 Metodologi bil ra'yi dalam tafsir fi zhilalil Qur'an

Artinya:“mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : ‘bulan sabt itu adalah tanda-tanda bagi manusia dan (bagi ibadah haji); Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah kerumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beuntung.”(Al-baqarah:189)
Ia menerangkan bahwa tanda-tanda waktu bagi manusia dalam tahallul dan ihram mereka, dalam berpuasa dan berbukan puasa mereka, dalam pernikahan, talak dan ‘Iddah mereka, dalam mu’amalat, perniagaan dan hutanng-piutang mereka.. dalam semua perkara agama dan dunia mereka.
Baik jawaban ini untuk pertanyaan yang pertama atau untuk kedua, tetapi keduanya ditujukan kepada realitas kehidupan mereka secara nyata bukan sekedar pengetahuan yang bersifat teoritis, dan menjelaskan tentang peredaran bulan dan bagaimana peredaeran bulan itu terjadi, padahal ini termasuk kedalam inti pertanyaan: kenapa bulan Nampak pertama kali sebagai bulan sabit.. dan sebagainya… jawaban ini juga tidak menjelaskan kepada mereka tentang fungsi bulan dalam tata surya atau dalam keseimbangan gerak benda-benda luar angkasa padahal ia termasuk dalam muatan pertanyaan: Mengapa Allah mencipatakan bulan sabit? Isyarat apakah yang ingin ditumbuhkan oleh arah yang ada di dalam ayat ini?
Al-Qur’an pada saat itu tengah membangun tashawwur khusus, system khusus dan masyarakat khusus.. tengah membangun umat baru di muka bumi, yang memiliki peran khusus dalam memimpin umat manusia, untuk menciptakan masyarakat teladan yang tiada tara bandingannya, untuk menjalani kehidupan yang idealyang tiada duanya, dan untuk mengokohkan dasar-dasar kehidupan ini di muka bumi, dan untuk menuntun manusia menuju kepada-Nya.
…oleh sebab itu menghidari jawaban manusia yang manusia itu belum memiliki kesiapan untuk menerimanya dan tidak dapat memberikan manfaat bagi misi utama yang menjadi utama diturunkannya Al-Qur’an. Masalah ini apapun keadaanya, bukan bidang al-Qur’an. Karena al-Qur’an diturunkan untuk misi yang lebih besar ketimbang informasi dan pengetahuan sektoral…
Kaitan antara kedua bagian ayat ini nampaknya adalah korelasi antara bulan sabit yaitu tanda-tanda waktu bagi manuia dan ibadh haji dengan tradisi jahiliyah berkenaan dengan haji, itulah yang diisyaratkan oleh bagian ayat yang kedua.
Di dalam shahihain –dengan sanad –nya- dari al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “dahulu orang-orang anshar apabila berhaji lalu pulang, mereka tidak masuk dari arah pintu-pintu rumah. Kemudian salah seorang dari mereka datang lalu masuk dari arah pintu, lalu ia dicela karena perbuatan tersebut. Kemudian turunlah ayat:
  
..”dan bukanlah kebajikan…(189)
Apakah tradisi mereka itu berkenaan dengan perjalanan secara umum atau berkenaan dengan haji secara khusus –walaupun ini yang lebih dekat denga konteks –tetapi mereka dahulu menganggap hal ini sebagai kebajikan –yakni kebikan atau iman- lalu al-Qur’an datang untuk membatalkan persepsi yang salah dan amal perbuaan mereka yang mengada-ada yang tidak berdasar dan tidak bermanfaat sama sekali ini. Al-Qur’an datang melurukan tashawwur keimanan tentang kebajikan…
5. keistimewaan metodologi tafsir sayyid kutub
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan tafsir kontemporer yang paling aktual dalam memberikan terapi berbagai persoalan dan menjawab berbagai tuntutan abad modern ini berdasarkan petunjuk al-Qur’an. Di antara persoalan dan tuntutan abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar pemikiran, ideologi, konsepsi, pembinaan, hukum, budaya, peradabaan, politik, psikologi, spritualisme, dakwah dan pergerakan dalam suatu rumusan kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman. Berbagai persoalan ini, di samping persoalan-persoalan lainnya, mendapatkan perhatian yang memadai didalam tafsir ini. Sehingga membuat tafsir ini terasa sangat aktual apalagi gagasan-gagasan Sayyid Quthb yang tertuang di dalam tafsir ini sangat orisinil berdasarkan nash-nash al-Qur’an tanpa terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran asing.
Karena itu tafsir Fi Zhilalil Qur’an dapat dikatagorikan sebagai tafsir corak baru yang khas dan unik, serta langkah baru yang jauh dalam tafsir. Zhilal juga dapat dikatagorikan sebagai aliran khusus dalam tafsir, yang dapat disebut sebagai “aliran tafsir pergerakan”. Sebab metode pergerakan (al-manhaj al-haraki) atau metode realistis yang serius tidak ada didapati selain pada Zhilal.
Sumber-sumber Zhilal berbeda dari sumber-sumber tafsir lainnya disebabkan perbedaan karakter dann tujuannya. Sumber-sumber dalam Zhilal itu tidaklah mendasar atau pokok (primer), akan tetapi sifatnya sekunder, sebab Sayyid Quthb menyebutkannya untuk memberikan contoh dan bukti dari yang apa yang ia katakana. Ini adalah bagian dari beberapa keistimewaan Zhilal.
6. Analisa
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa sayyid Quthb dalam menfsirkan ayat-ayat Al-Qur'an menggunakan barbagai macam metode diantaranya metode munasabatul Qur'an, bil lughoh, bil matsur dan terkadang menggunakan bil ra'yi. Namun yang lebih banyak digunakan adalah metode munasabatul Qur'an dan bil lughoh.
Diantara Keistimewaan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an adalah merupakan tafsir kontemporer yang paling aktual dalam memberikan terapi berbagai persoalan dan menjawab berbagai tuntutan abad modern ini berdasarkan petunjuk al-Qur’an. Di antara persoalan dan tuntutan abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar pemikiran, ideologi, konsepsi, pembinaan, hukum, budaya, peradabaan, politik, psikologi, spritualisme, dakwah dan pergerakan dalam suatu rumusan kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman. Berbagai persoalan ini, di samping persoalan-persoalan lainnya, mendapatkan perhatian yang memadai didalam tafsir ini. Sehingga membuat tafsir ini terasa sangat aktual apalagi gagasan-gagasan Sayyid Quthb yang tertuang di dalam tafsir ini sangat orisinil berdasarkan nash-nash Al-Qur’an tanpa terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran asing.
Karena itu tafsir Fi Zhilalil Qur’an dapat dikatagorikan sebagai tafsir corak baru yang khas dan unik, serta langkah baru yang jauh dalam tafsir. Zhilal juga dapat dikatagorikan sebagai aliran khusus dalam tafsir, yang dapat disebut sebagai “aliran tafsir pergerakan”. Sebab metode pergerakan (al-manhaj al-haraki) atau metode realistis yang serius tidak ada didapati selain pada Zhilal.
Sumber-sumber Zhilal berbeda dari sumber-sumber tafsir lainnya disebabkan perbedaan karakter dann tujuannya. Sumber-sumber dalam Zhilal itu tidaklah mendasar atau pokok (primer), akan tetapi sifatnya sekunder, sebab Sayyid Quthb menyebutkannya untuk memberikan contoh dan bukti dari yang apa yang ia katakana. Ini adalah bagian dari beberapa keistimewaan Zhilal.

7. Penutup
Tafsir fi zhilalil Qur'an yang ditulis oleh sayyid Quthb merupakan kitab tafsir kontemporer yang baik dan bermanfaat. Di dalamnya memberikan solusi dan menjawab problematika kontemporer umat Islam sesuai dengan tuntunan Al-Quran. Seperti dalam masalah politik, pemikiran, ideologi, budaya dan lain-lain. Penulisnya menegaskan bahwa agar Al-Qur'an ini dijadikan sebagai undang-undang dalam setiap aspek kehidupan. Namun dari itu semua banyak pula yang mengkritisi tafsir fi zhilalil Qur'an ini. Wallahu a'lam



8. Daftar referensi:

- sucipto Hery, Ensiklopedi tokoh islam, Jakarta: PT. Mizan Publika, Cet. 1, th 2003
- Dalam Harddisk Portable
- www.dakwatuna.com/wp-content/upload/2008/07/Al-Qur'an.jpg
- http://www.alqlm.com/index.cfm/method=home.con&contentid=207.fatwa tertanggal 30/8/2005 M.
- Zulfidar Akaha Abduh, siapa teroris? siapa khawarij?, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. 1, th 2006,
- Fattah al-Khalidi Dr. Shalah Abdul, Madkhal Ila Zhilalil Qur’an, (Terj.) Salafuddin Abu Sayyid, Laweyan: Era Intermedia, 2001, Cet.I
- Quthb Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, Kairo: Daar asy-Syuruq, 1992, Cet.17, jilid.I,
- ….. Fi Zhilalil Qur’an, Kairo: Daar asy-Syuruq, 1992, Cet.17, jilid.II,
- …..fi zilalil Qur'an,terj,Jakarta: Rabbani press

1 komentar:

  1. Syukron...sungguh bermanfaat...semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi pembaca dan amal ibadah bagi penulis...AMIEN.

    BalasHapus